07| Pacar

3.3K 119 2
                                    

Suara ketukan sepatu milik Addara terdengar cukup nyaring. Meskipun tidak begitu tinggi, tapi tetap saja setiap langkahnya menimbulkan suara. Addara baru saja kembali dari pantry kantor untuk mengisi air di botolnya yang tadi pagi lupa ia isi ulang.

"Dar, ada berita buat kamu," kata Nita menyambut Addara yang baru saja membuka pintu ruangan.

Addara mengerutkan keningnya. "Berita apa, Mbak?" tanyanya pada Nita dan yang lain karena hampir semua memperhatikannya. Ia kemudian duduk di tempatnya sembari menunggu jawaban.

"Senin nanti, kamu jadi utusan Bu Raya untuk gantiin beliau buat meeting sama salah satu dari klien tetap perusahaan ini," jawab Nita penuh kegembiraan disambut dengan yang lain dengan tatapan bangganya. "Dan hari Selasa nya, ada meeting sama investor,"

"Loh, kok aku, Mbak?" Addara bertanya karena kebingungannya. "Emang aku siapa?"

Semua terkekeh dengan pertanyaan Addara. "Ya kamu, Addara," jawab Anya dibalas kekehan seisi ruangan kecuali Addara. "Beliau kesini tadi, waktu kamu ambil air. Katanya, untuk lebih jelasnya, kamu bisa temuin dia di ruangannya,"

"Sekarang, Mbak?" tanya Addara yang betul-betul masih bingung.

"Minggu depan sih gapapa kayanya," jawab Naya dengan malas. "Ya sekarang dong, Cantik,"

Addara menggaruk tengkuknya seraya beranjak dari kursi. Ia memperhatikan semua orang yang ada di ruangan yang menampilkan ekspresi yang sama. Terlihat bahagia.

"Udah sana, nanti Bu Raya nunggu lama," kata Ayuna dengan gerakan tangan mengusir. "Fighting, Dar!"

Addara mengangguk dengan senyum ragu. Ia kemudian keluar ruangan dan menuju lift untuk menuju ruang Bu Raya. Tidak menunggu lama dari ia menekan tombol, pintu lift terbuka menampilkan salah satu atasannya.

"Siang, Pak," sapa Addara sebelum masuk ke lift.

"Siang," balas pria tersebut. "Lantai berapa?" tanyanya dengan dingin. Pria itu kebetulan berdiri di dekat deretan tombol, tidak salah jika menanyakan hal tersebut.

"Delapan, Pak," jawab Addara yang mendapat tatapan dari atasannya itu. Pria tersebut kemudian menekan angka 8 hingga lift tertutup dan mengirim mereka ke lantai tersebut.

Tidak lama, pintu lift terbuka di lantai yang mereka tuju. Addara sedikit mundur seolah memberi ruang untuk atasannya tersebut keluar lebih dulu.

Addara kemudian berjalan menuju ruangan Bu Raya. Mengetuk pintu sesuai etika dan masuk setelah dipersilakan.

"Ohh Addara," kata Bu Raya dari kursi kebesarannya. "Duduk, duduk," titahnya dengan ramah. Ia pun mendudukkan dirinya di depan Addara yang patuh duduk di sofa yang ia tujuk.

"Maaf, Bu, ganggu pekerjaannya," kata Addara memulai. "Tadi saya dapet kabar disuruh ke sini untuk masalah meeting, maksudnya bagaimana ya Bu? Maaf,"

"Addara masih aja formal. Santai kalau sama saya," tegur Bu Raya. Addara tersenyum kikuk karena itu. "Iya. Itu untuk hari Senin dan Selasa, saya minta kamu untuk gantiin posisi saya sementara. Ada total 4 pertemuan dan kamu handle 2. 2 pertemuan itu penting tapi yang lainnya lebih penting dan gak diadakan di sini. Jadi saya inisiatif buat ajukan kamu sebagai gantinya saya untuk 2 pertemuan,"

"Maaf Bu sebelumnya, saya belum pernah dalam rapat penting kecuali di kampus. Apa gak masalah?” tanya Addara menyampaikan kekhawatirannya.

Sebetulnya Addara tipe orang yang selalu siap untuk apapun. Apalagi berurusan dengan public speaking dan semacamnya, ia menyukai hal itu. Tapi lain dengan sekarang. Jika berkaitan dengan investor dan klien, itu artinya akan menyangkut kelangsungan perusahaan, kan? Ia sedikit takut karena ia pun belum lama bekerja disini. Terlebih, ia rasa beberapa orang bisa melakukannya. Mungkin Nita.

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang