Suasana malam yang cukup hangat dengan lalu lalang manusia tepat di pinggir saat berjalan. Para pedangang menjajakan dagangannya masing-masing. Asap mengepul dari beberapa spot penjual membuat siapa saja merasa ditarik oleh asap tersebut.
Tidak lupa, beberapa permainan khas untuk anak-anak maupun orang dewasa, ada di tempat ini. Tempat yang cukup luas yang selalu ramai jika malam hari. Pasar malam.
Sejak 20 menit lalu, sepasang manusia sudah mengelilingi tempat ini. Beberapa kali berhenti untuk sekedar melihat demonstrasi dari penjual yang menurut mereka menarik. Jajanan pun ada di tangan masing-masing lengkap dengan minuman cup di plastiknya.
“Jangan kenyang di sini, Ra,” kata Arkan saat Addara berniat untuk menghampiri salah satu pedagang. “Gua mau traktir lu makan di tempat kesukaan gua,” sambungnya.
Addara sedikit mengerucutkan bibirnya. “Terakhir,” ujar Addara. “Pak satu bungkus, ya!” sambungnya membuat Arkan yang akan mencegahnya mengurungkan diri.
“Dasar cewek. Makanan di tangannya belum setengah abis, udah pesen lagi aja,” gumam Arkan melihat antusias Addara menunggu pesanannya.
“Makasih, Pak!” ucap Addara setelah mendapatkan satu porsi telur gulung dengan saus yang menurutnya sangat menggoda iman. “Ayo! Mau kemana lagi?” tanyanya sedikit mendongak menatap Arkan. Ia kemudian melahap satu tusuk telur gulung dengan mata berbinar setelahnya.
“Mau naik bianglala dulu atau langsung ke tempat makan?” tanya Arkan dengan tangan yang aktif. Satu ibu jarinya mengusap sudut bibir Addara yang terkena saus dan satu tangan lainnya merogoh tisu di saku celananya.
Itu sedikit membuat Addara terdiam. Tentu. Itu terbilang tiba-tiba. Namun tidak sampai dua detik wanita yang masih menggunakan pakaian kerja itu kembali memakan makanannya bersamaan dengan Arkan yang membersihkan tangannya dengan tisu.
“Langsung makan, boleh?” tanya Addara. “Loket bianglalanya ngantri. Nanti terlalu malem pulangnya,” sambungnya dengan menunjuk sebuah tempat penjualan tiket.
Arkan mengangguk dengan senyumnya. “Boleh,” jawabnya. “Yuk!” ajaknya dengan semangat menggandeng tangan Addara.
Keduanya berjalan meninggalkan tempat tersebut yang semakin malam ternyata semakin ramai. Posisi mereka nyaris di ujung berlawanan dengan area parkir yang membuat mereka perlu usaha ekstra karena harus berdesakan dengan pengunjung lain.
“Gua saranin lu berenti makan, Ra,” ujar Arkan saat ia sudah mulai menjalankan mobilnya keluar dari area pasar malam. “Gua jamin lu suka makanannya. Lu bakal nyesel kalau kenyang duluan,” sambungnya dengan sesekali menoleh pada Addara yang masih asik mengunyah.
“Daripada kamu nyuruh aku berenti, mending kamu ikut bantu abisin. Sayang kalau kebuang,” balas Addara. “Buka mulutnya. Aku suapin,” sambungnya dengan menyodorkan satu tusuk sate seafood khas pasar malam.
Arkan terdiam. Ia melirik Addara dan makanan di depan mulutnya secara bergantian. Sedikit aneh dengan kalimat aku suapin yang Addara ucapkan. Tubuhnya sedikit menghangat meski AC sudah ia nyalakan semua.
“Buka mulutnya, Ar!” titah Addara dengan tangan menekan bagian dagu Arkan ke bawah hingga bibir pria berpakaian santai itu terbuka. “Nah! Cepet abis kalau gini,” kata Addara setelah meloloskan satu tusuk sate seafood ke dalam mulut Arkan. Wanita itu kemudian melanjutkan acaranya—menghabiska sisa makanan yang tersisa masing-masing 2 dari 3 plastik berbeda.
Arkan mengunyah makanan di mulutnya dengan perlahan. Perasaannya sedikit tak karuan rasanya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh saat Addara melakukan hal tadi. Ah bahkan tindakan itu sangat biasa saja. Itu bisa dilakukan oleh dan pada siapa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rejection(s) [END]
Teen FictionAddara tidak suka membaca buku atau menonton film dua kali. Ia sudah paham jalan cerita dan akhir dari cerita itu nantinya. Menurutnya, itu sama seperti menjalin hubungan yang sama dengan mantan. Tapi, bagaimana jika hubungan yang sebelumnya memang...