05.

457 57 1
                                    

"Balikin mood itu susahnya kaya balikin telor ceplok tanpa pecah."

***






Hidup di tahun 2022 rasanya dari waktu ke waktu semakin cepat berlalu. Buktinya saja hari ini sudah weekend kembali. Padahal baru saja hari kemarin malam Rabu yang dihabiskan dengan mimpi buruk.

"Sayang kebuka banget, gerah ya?" Aku melihat Chika sedang menjemur beberapa bantal di balkon apartement hanya menggunakan sport bra dan kain bali yang tipis melilit pinggangnya.

"Banget yang. Kamu ngerasa gasih AC nyala aja panasnya udah kaya lagi dijalanan?"

"Iya sih, akhir-akhir ini aku kalo tidur jarang pake selimut." Jawabku.

Sabtu ini kami belum ada agenda kemana-mana selain membereskan barang-barang di unit Chika. Rasanya penat bekerja dan terlebih cuaca diluar begitu panas menjadi tolak ukur untuk pergi siang-siang.

"Nanti malem jalan yuk, masa weekend di apart aja." Kataku.

"Kemana?" Dia sedikit meringis karena balkon apart yang baru pukul 9 ini sudah sangat tersorot matahari dari timur.

"Aku pengennya ke sudirman, sebenernya ada niat terselubung. Hehe." Cengirku.

"Apa tuh?" Tanyanya.

"Aku butuh bahan buat penelitian, nah niatnya survey lapangan aja sih sekitar fx budaya pengunjungnya gimana."

"Penelitian tesismu apaan emang yang?"

"Tentang konsumen."

"Oh yaudah ayo biar kamu cepet nyusun, cepet sidang, cepet wisuda dan cepet halalin aku." Dia sudah berada dihadapanku dengan tangannya yang melingkar di leherku.

"Dihalalinnya sekarang aja bisa gak?" Aku mengeluarkan satu wing untuknya.

"Emang bisa?"

"Bisa yang." Aku berisik tepat pada kupingnya.

"Caranya?"

Kembali kutatap wajahnya yang hanya berjarak 10 cm. Sesekali padanganku turun pada bibirnya. Aku meneguk saliva.

Kutatap lagi kedua matanya yang coklat. Cantik. Pujiku dalam hati.

Selain tangannya yang melingkar di leherku, ada tanganku yang melingkari pinggangnya, sesekali bergerak halus mengusap punggung yang terbuka.

Chika tersenyum.

"Haha, udah deh gak kuat. Nanti malah yang iya-iya." Ucap Chika.

Sebelum Chika melepas rangkulannya, sudah kutarik bibirnya agar bertemu dengan bibirku. Dia terkejut karena aku sedikit kasar.

Tangan kiriku memegang tengkuknya dan tangan kananku masih berada di tepi pinggangnya.

Karena Chika lebih dekat dengan kabinet kitchen set, perlahan kuajak dia mundur. Aku mengakhiri lumatan kami dan mengangkat Chika untuk duduk diatas kabinet.

Aku menatap Chika yang sudah sayu.

Kembali kuraih tengkuknya dan kembali kami merasakan decapan antara bibir dan lidah yang saling berseteru.

"Aahhh.." Satu desahan lolos disela-sela ciuman kami, setelah satu tanganku menemukan kuncup dari sebelah gunung kembarnya.

Sesekali karena oksigen yang menipis kualihkan kecupanku pada pipinya. Tanganku masih setia disana, memilin dan meremas secara perlahan.

Kukecupi lehernya tanpa membiarkan ada satu tanda pun yang kutinggalkan. Chika semakin meremas rambutku dan menengadahkan kepala.

Satu tali sport bra kutepiskan dari lengan kirinya. Chika menatapku dengan sayu.

"Hhh..ya..nghh.." Kecupan kecupan singkat kudaratkan menuju dadanya. Lidahku sudah berputar-putar mengelilingi areola tanpa menyentuh puncaknya.

"Sshayangh..pleasee.." Aku mengerti Chika menginginkan apa. Tapi aku malah memainkan dada sebelah kanannya yang masih terhalang bra dengan tangan kiriku.

"Yanghh…"

"Aahh.." Aku sedikit menyenggol puting kirinya dengan lidah.

"Hhh…ya..nghh."

Aku menarik lidahku yang masih memainkan areola Chika tanpa henti. "Kenapa sayang?" Tanyaku menatapnya.

Dia memberikan tatapan kecewa padaku. Ada binar-binar kenikmatan yang dia inginkan lebih dari ini. Namun aku melepaskannya begitu saja.

"Udah ya, nanti keterusan. Belum halal soalnya." Cengirku.

Chika membetulkan posisi duduknya. Kubetulkan kembali tali bra yang sempat kukeluarkan dari sebelah tangannya.

"Nyari apa yang?" Saat ini dia melihat-lihat sekitar.

"Nyari piso buat bunuh kamu."

Bukannya takut aku malah tertawa kencang dan sedikit menjauh darinya.

"Awas aja nanti kalo aku nemu piso, aku bunuh kamu ya." Ucapnya yang sudah turun dan berlalu menuju kamar mandi.

"Ampun yang, please jangan marah." Kuketuk pintu kamar mandi beberapa kali. Dia tidak menyahut.

Aku mendengar percikan air dan sepertinya Chika memilih mandi.






***




"Atuyang… ampun, maaf ya maafin." Kataku.

Chika masih asik mendiamkanku selepas acara mandinya itu. Kami sedang menikmati ayam geprek yang dipesan dari ojol.

"Makan ih, bawel." Katanya ketus.

Karena tidak mau membuat moodnya semakin hancur, aku membiarkan acara makan ini berlangsung dalam suasana yang hening.

Ddddrrrtt…

Ibu
Ran, besok ibu mau ke Jakarta ada studi banding dari kantor. Pulangnya ibu ke kamu ya?

Aku membaca pesannya sambil melirik Chika.

"Siapa?"

"Ibu. Mau kesini besok." Kataku pelan.

"Oh."

[Udah dicuekin Chika, ada ibu yang mau dateng. Pusing aing.]

Setelah membalas pesan ibu dan mengizinkannyaa untuk kesini. Ibu memintaku menjemputnya setelah rangkaian acara selesai. Berarti malam hari pikirku.

"Kok kamu kaya gak seneng sih Ibu kesini."

"Bukan gitu yang, cuma takut aja kaya waktu itu. Ibu belum bisa nerima kamu, aku jadi gak enak sama kamu."

"Gapapa. Ibu kamu juga kan maksudnya pengen yang terbaik buat masa depan anaknya."

"Ya. And for me you're the best one and only, no another people." Jawabku tegas. Entah moodku menjadi sedikit rusak jika sudah membahas ini.

"Aku mau ngelanjutin nyusun tesis, kamu selesaiin makannya sendiri dulu aja ya. Aku ke unitku dulu." Tidak ada maksud membentak Chika. Hanya saja, menikmati makan pun jika suasananya tidak memungkinkan rasanya hambar.

Chika pun sepertinya tidak ada niatan bertanya, mencegah bahkan menyusulku. Jadi kubiarkan saja.

Ternyata bumi semakin gerah sekali. Merebahkan diri dengan AC menyala tetap tidak nyaman.

Aku membawa macbook menuju rooftop tanpa mengabari Chika. Biarlah.

Rasanya aku butuh menjernihkan pikiranku.












***

Slow update ya guys, see you ❤️

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang