“Ayo nikah. Aku gak mau bikin kamu gagal jadi satu diantara ketiga itu.”
“Nggak sekarang juga kali Mas, kaya minta beli martabak banget ngajak nikahnya.” Jawab Chika.
“Tenang! Aku nggak bakalan kemana-mana lagi. Aku mungkin mau aja kalo seandainya besok lusa kamu ngajak nikah dan langsung pergi ke KUA. Tapi pastiin dulu kalo alasan kamu nikahin aku bukan sekedar karena nggak mau bikin aku gagal jadi anak sholeah itu Mas.”
“Tujuan kamu ngajakin aku nikah apa?” Tanya Chika.
“Ya biar bisa jadi imam yang pantas buat kamu.” Aku menjawab apa adanya.
Teringat obrolanku dengan Cio pagi tadi. Harusnya memang aku jangan terlalu terburu-buru. Biarkan suasana menjadi lebih baik sebentar.
“Kamu sering banget kalo kita udah hampir kebablasan kamu tiba-tiba ngajak nikah. Yakin itu tujuannya? Bukan karena biar kita bisa making love without scared aja kan?”
Pertanyaan Chika cukup menyentil rasa raguku tentang penolakan Chika lagi. Kupikir dia berkata seperti itu hanya mencoba mengulur waktu kembali.
“Maaf.” Ucapku pelan.
“Gapapa, aku juga ngerti Mas. Tapi tolong ya, niatin dulu kalo nikah yang kamu mau, hubungan serius yang kamu inginkan itu niatnya untuk apa dulu. Selama ini kamu sering bilang siap nikah siap nikah, kali ini aku tanya. Apa yang udah kamu siapin? Sex education doang?”
Chika benar, apa yang sudah aku siapkan selama ini? Rasanya belum ada sama sekali. Pada siapa harus kutanyai semua ini?
“Aku udah kok nyiapin sesuatu.”
“Apa?” Tanyanya.
“Nyiapin calonnya dulu, nanti yang lain nyusul. Hehe.”
“Ini mode oonnya aktif lagi, astaghfirullah.”
“Nah gitu yang, sekarang kalo ngucap astaghfirullah lebih enak aja didengernya.” Chika malah menghadiahiku satu cubitan kecil ditangan.
“Ayo lanjutin lagi bacanya, belum selesai. Aku mau buat dulu minum.”
Jadi nikah itu niat dan tujuannya harus bagaimana? Sepertinya aku perlu mengajak Cio dan Shani untuk berbicara mengenai ini. Dua pekan lagi mereka akan segera melangsungkan pernikahan.
Sementara Chika membuatkan minum, aku kembali melanjutkan bacaanku.
Terima kasih karena Ibu sudah menyayangi Chika. Aku merasa lega dan tidak perlu merasa cemas kemana harus kudapat restu jika inginku tetap Chika. Ibu lebih dulu memberinya.
Senyum-senyumku mengembang membaca setiap bagian tentang Chika yang Ibu tuliskan.
Ibu juga menuliskan pesan jika suatu hari nanti Chika datang dengan keinginannya sendiri, maka jangan ragu untuk membantunya lebih meyakini apa yang selama ini aku percaya.
Bahkan Ibu menuliskan doa agar huhunganku dan Chika berlangsung pada jenjang yang lebih serius. Dan yang paling tidak bisa kupercaya adalah Ibu sering meminta Chika disepertiga malam agar segera dibukakan pintu hatinya untuk sesegera mungkin menjadi bagian dari kami.
Jika ada satu hari yang bisa kuulang, aku ingin menyenilap masuk diantara hari-hari ketika Ibu menulis catatan ini. Membaca diam-diam kemudian mengucapkan terima kasih dan memeluknya.
Terima kasih Ibu, Ibu dan Chika sudah menjadi peri cintaku.
***
Pada halaman selanjutnya aku membaca bahwa Ibu selama ini menyembunyikan hipertensi yang dimilikinya. Dan sialnya, aku tidak pandai membaca keadaan setiap kali Ibu mengeluh pusing. Kupikir itu hanya karena lelah setelah seharian bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cintaku
FanfictionTuhan memang satu, kita yang tak sama. "Akan seperti apakah akhir dari kisah ini?" Monolog Chika. #1 - Aran (6May) #1 - bedaagama (30June)