19.

264 47 12
                                    

"Kejar pencipta-Nya baru mengejar ciptaan-Nya."

***




10 hari berlalu dari pertemuanku dan Chika di Singapore. Dia benar-benar jauh saat ini. Hanya untuk mendapatkan kabarnya saja aku harus menunggu berjam-jam, itu pun sungguh tidak banyak. Aku hanya bisa bersabar, mengerti saat ini ia sedang sibuk dengan pekerjaannya dan menunggu di antara banyak hal yang aku sendiri tidak tahu bagaimana jalan keluarnya.

Andai aku bisa memilih bagaimana terlahir ke dunia ini, aku ingin meminta agar Chika memiliki keyakinan yang sama denganku.

"Woy lo bengong mulu, penuh itu aer." Sahut seseorang yang baru saja masuk ke pantry.

Tersadar sedang mengisi air, aku melihat gelasku penuh dan melepas tombol dispenser. Menatap diam seseorang yang ternyata itu Eli.

"Kenapa sih bor?" Tanyanya yang mengikuti duduk di kursi pantry.

Aku meneguk air yang gelasnya masih betah kupegang. Kemudian menghela nafas lebih panjang.

"Menurut lo gue salah gak El kalo misal gue tetep pengennya sama Chika?"

Kami bertatapan. Eli diam. Tapi hembusan nafasnya barusan menandakan seolah ini rumit dan berat.

"Gimana ya Gun. Gue juga kalo jadi lo bingung sih."

Aku menatapnya sebentar dan memainkan gelas di atas meja.

"Malem itu Chika disuruh mutusin gue sama Ibu, El."

"Gue bodoh karena terlalu kaget fakta yang gue baru tau, gue gak bisa cegah Chika buat pergi."

"Lo tau sekarang dia dimana? Dia sekarang jauh El." Lanjutku lagi.

"Sebentar, gue kaget sebenernya. Soalnya Chika belom ada cerita apa-apa sama gue. Maksudnya sekarang kalian udah putus gitu?" Eli memberikan respon yang sama-sama membuatku terkejut, pasalnya kupikir ia sudah tahu.

Aku pikir Chika sudah menceritakan masalah ini pada Eli. Tapi ternyata Eli tidak tahu apapun.

"Udah sepuluh hari dia ada di Singapore. Dua weekend kebelakang gue nekat nyusulin dia kesana tapi gue gak bisa yakinin dia."

"Eh bentar lo masih banyak kerjaan gak? Gak enak ngobrol di pantry, kita ke rooftop aja biar ngobrolnya lebih leluasa." Kata Eli.

"Boleh, gue ngambil dulu hp yak."

Aku berharap ada kabar dari Chika, karena itu aku membawa hp.

"Zi, gue ada urusan sebentar sama Eli. Kalo ada yang nyari call aja ya."

Setelah berpamitan pada anak divisi aku berlalu keluar, saat ini aku dan Eli sudah berada di rooftop dan duduk di salah satu kursi payung.

"Coba lo ceritain dari awal gimana, gue sama sekali belum tau apa-apa selain nyokap lo, sorry nyokap lo yang gak suka sama hubungan kalian karena beda agama."

Aku megangguk paham. Aku mulai menceritakan bagaimana kejadian malam itu secara rinci, tentang ibu yang tiba-tiba ada di apart dan memergokiku pulang membawa Chika, tentang Chika yang ibu tuduh mengenai banyak hal, tentang bagaimana rumit menjadi ibu sebagai single parent, tentang fakta ayahku yang aku tidak peduli saat ini ada di mana dan siapa, tentang rasa trauma ibu yang baru terungkap dan menjadi alasan kenapa ibu tidak menyukai hubunganku dan Chika, juga tentang Chika yang menyetujui permintaan ibu untuk mengakhiri hubungan kami.

"Sorry El, gue tau gue salah. Gue udah bikin sahabat lo nerima banyak luka. Padahal gue udah janji gak akan bikin dia sakit." Aku menunduk.

"Lo boleh nyalahin gue sepuas yang lo mau, tapi gue masih bisa kan El milikin Chika?" Tanyaku menatapnya.

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang