31.

389 62 4
                                    

Sandwich ala Chika dengan telur setengah matang sudah cukup membuatku kenyang pagi ini.

Apalagi setelah mendapat satu kecupan lagi sebelum aku pergi untuk mengembalikan mobil milik Cio.

Chika tidak jadi ikut karena di luar hujan. Sebenarnya aku yang melarangnya untuk ikut. Biarkan dia lebih banyak istirahat untuk hari-hari yang melelahkan kemarin. Setelah banyaknya kebaikan yang dia luangkan untuk Ibu dan keluargaku.

Aku merasa semakin harus bertanggung jawab kepadanya. Apalagi mengetahui selama ini Chika hanya dibesarkan oleh keluarga ibunya, dan tumbuh dewasa dengan usahanya sendiri aku semakin merasa kita adalah dua orang yang sama-sama membutuhkan untuk saling melengkapi. Andai bukan, hari ini Ibu masih ada dan mengenal Chika mulai sejak sekarang.

Seberapa banyak andai pun tidak akan pernah mengubah kenyataan bahwa Ibu sudah tidak ada.

Ikhlas Zafran.

Tidak terasa mobil yang kukendarai sudah masuk di area carport rumah Cio.

“Assalamualaikum selamat pagi, pakettttttt.” Ku tekan bel yang terpajang di samping pintu rumahnya.

“Yuhuuu spada… anybody home?”

“Lama banget dah, tadi minta buru-buru.” Gerutuku pelan.

“Permisi, pakettttttt.” Teriakku sekali lagi.

“Idih budek apa yak?”

Bel sudah kesekian kalinya aku tekan. Tapi belum ada tanda-tanda Cio datang.

Tuttt… tuttt… tutt…

Dering telpon pun tidak sama sekali mengusik pemilik rumah ini. Sedang kemanakah?

Dua kali panggilan tidak terjawab dan aku memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di teras. Mungkin dia sedang di kamar mandi, pikirku.

Suara motor datang dari luar, itu motorku. Rupanya dia tidak di rumah sejak tadi.

“Gue kira lu nelpon lagi di rumah bor.”

“Tadi si Shani minta anterin ke pasar, dari pada gue nunggu elu yang lama banget ya udah gue ajak naik motor aja sambil hujan-hujanan.”

“Waduh, sorry sorry ya. Gue kira tadi kagak buru-buru.”

“Sans bor. Yok masuk.”

Aku mengikuti Cio memasuki rumahnya dari pintu depan. Minimalis dan kekinian. Tidak terlalu besar, pas. Tetap cozy dan aesthetic.

“Rumah lu makin keren aja. Abis berapa buat bikin ginian?” Area ruang keluarganya luas, semi outdoor dengan taman mini dan pernak pernik batu alam yang aku prediksi ini harganya tiga kali lipat dari cicilan bulanannya.

“Ya bisa bikin puasa lu 3 bulan lah ada.” Jawabnya singkat. Aku mengangguk, sesuai prediksi.

“Mau minum ambil aja ya, lu kek sama siapa aja.” Cio menuju dapur.

“Yoi kalemin aja.” Jawabku. Dia sudah hilang di balik pintu kamar mandi. Bersih-bersih sepertinya.

Asik menikmati desain interior rumahnya membuatku berpikir apakah Chika akan mau jika kuajak tinggal di rumah seperti ini dan menjual unit kami?

“Eh btw ngapain lu nganter Shani ke pasar? Tumben banget.” Cio sudah berdiri di sekitar meja pantry yang nampak dari ruang keluarga.

Kemudian dia datang membawa dua gelas kopi sepertinya, dari aroma dan asapnya yang masih mengepul jelas terlihat meskipun cangkirnya tidak bisa menggambarkan isinya apa.

Benar itu kopi. Dua cangkir sudah diletakannya di atas meja.

“Emang plinplan. Tadi katanya kalo mau minum ambil sendiri aja, ini malah lu bikinin.” Aku mengambil satu cangkir yang belum ada pemiliknya. Tapi pasti itu suguhan Cio untukku.

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang