27.

304 55 6
                                    

Pintu ruangan ditarik kedalam, dan dokter keluar dengan stetoskop yang menggantung pada saku jasnya.

Kak Anin melepaskan rangkulanku, dia lebih dulu mendekat kearah dokter.

"Mbak Anin dan keluarga, saya minta maaf. Tekanan darah ibu sangat tinggi 180/120. Saya sudah berusaha sebaik mungkin, tapi Ibu lebih dulu berpulang meninggalkan kita semua. Kami turut berduka cita ya Mas, Mbak."

"Dokter jangan gila dok. Ibu masih bisa selamat kan dok?"

Aku seperti mendapatkan pukulan bertubi-tubi, tapi sialnya aku tetap berdiri dan tidak terjatuh. Aku tidak mendengar waktu berputar, aku mendengar semua orang berbicara dan ada yang menjerit, tapi aku tidak tau siapa dan apa yang mereka bicarakan.

Apa yang dokter maksud?

Berduka cita untuk apa?

"Mas.."

"Mas Aran.."

"Mas Aran, yang kuat ya. Mau liat Ibu?"

Sesaat aku tersadar dan hampir limbung. Hanya ada Pak Eko disini.

Dokter dan 2 suster telah berlalu, punggungnya masih bisa kutatap dari jauh. Pintu ruangan ibu terbuka lebar.

Ada suara jeritan dan tangisan dari dalam.

Pak Eko mencoba memapahku masuk.

Kak Anin sudah menangis disamping Ibu yang sudah tidak terpasang selang infus, tidak ada selang di hidungnya. Bibirnya pucat dan tidur terlentang kaku.

"Ibu jangan tinggalin Anin Bu, Anin masih butuh Ibu."

"Ibu Anin gak mau Bu."

"Anin gak bisa."

"Anin mau ikut."

"Ibuu.."

Aku masih mencerna dengan baik, apakah ini mimpi? Tolong!

"Aran, Ibuuu Ran.."

"Ibu pergi ninggalin kita Ran."

Kak Anin menubrukku dengan dekapannya, bahuku kembali basah. Bahuku kembali bergetar karena tangis Kak Anin.

"Bilang sama Aran kalo Aran lagi mimpi Kak. Bangunin Aran."

"Iya bangunin Kakak juga Ran, ini pasti kita lagi mimpi kan?" Kak Anin menatapku dan memegang kedua pipiku.

Jatuh sudah pertahananku, air mataku keluar dan menatap perih sekeliling.

"Apa ini benar?" Aku masih meratapi Ibu yang terbujur kaku disana.

Kuhampiri Ibu dan mengusap sedikit air mataku.

"Maafin Aran, maafin Aran ya Bu. Maafin Aran."

"Dunia Aran boleh berantakan, tapi Ibu jangan pergi."

Kukecup-kecup seluruh wajah Ibu dengan lama. Kuraih tangannya yang sudah tidak bernyawa.

Kuakui bahwa ini sepertinya nyata.

Berselang sebentar Kak Anin masuk dengan suster yang katanya ingin segera mengurusi jenazah Ibu.

"Kakak udah hubungi Boy, kamu telpon Chika."














***













Pada akhirnya setiap manusia akan diuji dengan sesuatu yang paling dicintai dan ditakuti.

Benar, aku mencintai ibu dan takut kehilangannya.

Tapi tidak ada dalam benakku bahwa semua ini akan secepat ini.

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang