39.

259 38 17
                                    


Peri cintaku menjawab ya. Sungguh itu kata yang meski sudah ku pikir akan terwujud tapi setelah mendengar langsung rasanya lebih lega dan terharu.

Setelah melewati perjuangan yang amat panjang, melawan restu dan merasa hilang harapan ternyata benar jodoh itu tidak kemana.

Sejauh apapun ia pergi, kalau jodoh ia pasti kembali. Terbukti bukan?

Hari ini tepat sebulan setelah kejadian di pemakaman hari itu. Chika menjadi lebih posesif. Bahkan untuk ke kantor pun tidak ia biarkan aku tanpa sekotak makan siang. Katanya "Kamu makan di ruangan aja, kalo keluar pasti ketemu cewek-cewek yang lagi magang. Mereka suka ganjen." Padahal kita tidak satu kantor, tapi dia sepertinya memang mendapatkan laporan dari Eli ketika banyak mahasiswa magang yang sering cari perhatian jika jam makan siang.

"Hari ini aku masak sapi lada hitam. Nanti saladnya sharing ke Eli juga ya Mas, dia semalem udah nitip." Chika baru saja masuk dan duduk di kursi penumpang. Kami baru akan berangkat menuju kantor.

"Bayar?" Tanyaku singkat.

"Iya, bilang aja 10 dollar."

"Buset. Mau ngerampok Eli kamu yang?"

"Haha engga, gratis itu. Dia nanti nitipin sesuatu juga buat aku. Kemaren dia kan abis dari Bali." Teman Chika yang satu itu baru saja menikmati babymoon yang sedikit random. Ralat, teman kami.

"Kita ke Bali juga, mau?"

"Jatah cuti kamu emang masih ada?"

"Emmmm.. nggak sih. Hehe." Aku baru ingat jatah cutiku tahun ini sudah benar-benar habis. Bagaimana jika Chika meminta pernikahan segera di tahun ini?

"Kalo kita nikah tahun ini, keknya aku..."

Beberapa hari terakhir kita memang lebih sering membahas tentang pernikahan. Tapi hal yang menjadi titik beratku adalah, Kak Anin harus menikah lebih dulu agar aku merasa lebih tenang. Sedang Chika...

"Jangan dijadiin beban Mas. Aku juga setuju kok Kak Anin harus lebih dulu nikah dari kita." Seolah mengerti apa yang sedang aku pikirkan saat ini. Chika tidak keberatan rupanya.

"Yaa tapi jangan lama-lama." Sambungnya.

Wanita tetaplah wanita bukan? Mereka tidak suka menunggu.

"Iya sayang. Nanti kita obrolin sama Kak Anin juga ya." Chika mengangguk. Aku sudah sampai di lobby kantor Chika, dia telah turun dan berlalu ke dalam gedung.

Memikirkan pernikahan, rasanya aku perlu mencari pekerjaan lain agar tabunganku kembali gemuk. Ya minimal bisa membawa Chika hidup lebih layak setelah sah ku jadikan istri.

"Harus pinter muterin duit. Duitnya yang muter atau gue yang muter yaa?" Monologku.

Berat ternyata menjadi seorang pria. Bukan mengartikan semua ini sebagai beban ganda. Tapi lebih tepatnya sebagai pria jelas aku harus mampu bertanggung jawab akan banyak hal. Mulai dari nafkah lahir dan batin, kebahagiaan, keselamatan, kenyamanan dan hal-hal yang tidak bisa diprediksi lainnya untuk bisa hidup selamat dalam menjalani rumah tangga.





***





Seperti kata Chika tadi pagi, dalam tas makanku ada satu kotak salad untuk Eli. Ibu hamil satu ini sangat girang saat mendapati salad sayur dengan saus kacangnya.

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang