17.

361 54 16
                                    

"Tuhan memang satu, kita yang tak sama."

***








Hampir 2 tahun sejak pertemuan pertama kami di sebuah acara pernikahan. Sejak hari itu hadir, tidak ada satu hari pun yang aku lupakan.

Bagaimana sosok Zhafran Guntara yang kukenal hanyalah sebatas teman dari temanku. Bagaimana ia memulai dengan kebaikan-kebaikannya yang membuatku luluh, hingga sore tadi. Dan malam ini semuanya harus kulepaskan, secara terpaksa. Mungkin!

Aku masih menangisi keputusanku beberapa menit lalu. Mengiyakan permintaan Ibu Aran untuk mengakhiri hubungan kami.

Biarlah tidak ada jawaban dari Aran dulu, biar aku tidak terlalu berat untuk melepasnya. Meski sebetulnya ini sangat berat.

Aku meraung dalam kamar.

"Kenapa harus sesakit ini Aran?"

Hiks.. Hiks..

"Aku harus gimana?" Monologku lirih.

"Kasih tau aku!"

Aku memukul bantal-bantal disampingku. Duduk bersandar pada kepala ranjang dengan mendekap kedua kaki.

Tidak ada yang bisa aku pikirkan lagi. Semua hal yang berada dalam otakku terlalu berlomba menginginkan menjadi pemenang. Sedangkan bathinku terhalangi rasa nyeri yang sudah menjalar.

Berapa lama seseorang bisa mengikhlaskan sebuah hal yang tidak diinginkannya terjadi?

Apakah sangat sulit memiliki takdir sesuai dengan keinginan?

Tidakkah semesta turut bersedih mendengar rintihan penghuninya yang terluka?

Atau adakah cara untuk hidup bahagia tanpa lika-liku cobaan?

DrrrtttDrrrtttt

Getaran ponsel yang tergeletak di atas nakas membuatku terjaga dengan terkejut. Melihat jam masih menunjukkan pukul 3 pagi. Berarti aku baru saja tidur 2 jam.

Mataku sangat perih. Sepertinya ini sangat bengkak, terlalu berat membuka mata dengan sempurna.

DrrrtttDrrttt….

Dirut is Calling 📞

Aku buru-buru duduk setelah sadar bahwa yang membangunkanku melalui nyaringnya panggilan adalah Pak Direktur.

"Halo Pak, Selamat Pagi. Mohon maaf baru terangkat. Ada yang bisa saya bantu?" Sapaku.

"...."

"Iya pak. Siang kemarin saya menerima undangan tembusannya."

"...."

"Hari ini Pak?" Aku cukup kaget. Pasalnya beliau mengatakan aku saja yang pergi menuju Singapore.

"...."

"Baik Pak. Saya akan menghubungi 2 staff saya setelah ini."

"...."

"Terima kasih sudah mempercayakan saya sebagai delegasi Pak. Saya usahakan sebaik mungkin."

Pikiranku memang sudah kacau sejak semalam. Dibangunkan sepagi ini langsung oleh direktur utama hanya untuk berangkat ke Singapore pukul 6.30 nanti. Apa tidak gila ketika aku mengiyakan permintaannya? Hanya sisa 3 jam lebih untuk aku bersiap.

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang