18.

283 50 9
                                    

"Belum rela untuk melepaskan tapi keadaan belum menyempatkan."

***




Keadaanku saat ini tidak jelas, getir, mengkhawatirkan, dan kusut.

Semua hal sangat menumpuk di pikiranku. Terutama mengenai Ibu & Chika.

Sedang merutuki nasib semalam yang ingin kuperbaiki namun sepertinya tidak akan bisa. Mengetahui fakta mengenai Ayah yang tidak pernah kudengar bagaimana cerita asal usulnya membuatku diam bisu seribu bahasa, yang bekerja saat itu hanya sebuah pertanyaan 'kenapa?' dalam pikirku. Kebisuanku ternyata menyebabkan rasa tak acuhku akan keputusan sepihak dari Ibu terhadap Chika.

Bagaimana aku bisa membiarkan ada orang yang menyakitinya? Sementara aku pernah berkata tidak boleh ada satupun yang menyakiti Chika. Aku gagal.

Ketika aku baru tersadar keberadaan Chika sudah tidak ada, aku baru bisa mendengar dan mencerna apa yang tadi keluar dari mulut Ibu. Makian dan kebenciannya seperti direka ulang dalam otakku.

Saat baru saja ingin menyusul Chika. Ibu yang sudah diam kembali bersuara, "Memilih Chika sama dengan kamu melupakan Ibu."

Aku terdiam mematung diambang pintu.

"Kamu boleh memilih Chika, tapi detik itu juga namamu sudah hilang dalam hidup Ibu."

"Bu.." Itu suara Kak Anin.

"Aku tau Ibu benci Ayah, aku juga ngerti gimana Ibu berjuang demi aku dan Aran dari masih kecil. Tapi tolong jangan jadikan ini karma kepada Aran."

"Tau apa kamu soal karma?" Tanya Ibu meninggi.

"Bu, ibu tenang dulu. Kita obrolin baik-baik. Kita cari solusinya bareng."

"Apa solusi untuk 2 manusia berbeda keyakinan tapi meminta disatukan? Apa?"

Aku kembali menutup pintu dan duduk bersimpuh di hadapan Ibu. Kugenggam kedua tangannya dan kuletakan kepalaku di pangkuannya.

"Aku minta maaf Bu. Aku yang salah." Suaraku sudah parau.

"Aku yang meminta Chika menerimaku, aku yang terus mengejarnya untuk mendapatkan balasan atas cintaku. Aku yang salah karena aku yang memulai semuanya."

"Aku tidak pernah melakukan hal yang lebih jauh hingga melampaui batas warasku."

"Aku juga tidak pernah membuat Chika kehilangan kesuciannya."

"Bahkan ketika aku menjawab satu tahun pun, itu bukan tentang kami yang tinggal satu atap. Engga Bu, bukan itu. Kita gak tinggal bareng seperti dugaan Ibu."

Ibu masih tidak bersuara. Kuangkat kepalaku menatapnya.

"Kalo alasan Ibu gak bisa nerima Chika hanya karena bagaimana Ibu dan Ayah di masa lalu. Apa Aran gak berhak memperbaiki apa yang dulu sudah gagal kalian bangun tanpa melibatkan perasaan trauma?"

"Bu.." Ucapku menatapnya. Sedikit menjeda.

"Aran tau. Allah tidak mengizinkan persatuan 2 orang yang berbeda keyakinan dalam sakralnya pernikahan. Tapi sekali dalam hidup Aran, yang Aran mau hanya Chika. Kalo pun Aran gak bisa sama Chika karena terhalang restu Ibu. Aran bisa apa? Aran tetap Bu, hanya akan menunggu Ibu sampai memberikan restunya."

Sebelum Ibu membuka mulut aku kembali menjelaskan.

"Sekali ini, sekali ini aja izinin Aran buat buktiin kalo hubungan Aran dan Chika gak akan sama kaya Ayah dan Ibu. Aran akan tunggu sampai Chika sendiri yang meminta membaca dua kalimat syahadat tanpa tuntutan pernikahan dan besarnya perasaan Chika sama Aran."

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang