28.

308 61 11
                                    

Sudah hari ke tujuh semenjak kepergian Ibu, aku tinggal di rumah untuk menemani Kak Anin.

Begitupun Bang Boy dan Chika, mereka berdua menginap disini setelah pemakaman Ibu. Dan Chikalah yang tiga hari kebelakang menemani Kak Anin seharian. Aku dan Bang Boy hanya ada saat pulang kerja.

Rasanya masih tidak rela, tapi ini benar-benar kenyataan.

Aku belajar menerima meski setiap hari rasanya seperti mimpi buruk.

Sampai saat ini aku belum berbicara mengenai kehilanganku pada Chika. Lebih tepatnya aku menjaga jarak.

Ketika hari itu dia datang ke rumah kami sebelum Ibu dikebumikan, aku melihat laki-laki yang bersamanya yang dari siang turut hadir mengikuti acara pemakamam Ibu.

Aku hanya memeluk Chika setelah masuk ke mobil. Semenjak itu obrolan kami hanya seputar Chika yang mengingatkanku mandi, makan, dan bertanya apakah aku sudah sholat.

Sama dengan hari ini, acara pengajian sudah selesai sejak satu jam yang lalu.

Aku tidak berminat membereskan seisi rumah yang masih berantakan, aku masuk ke kamar Ibu dan duduk di kasurnya.

Aromanya masih sama. Hanya lebih dingin dan tidak ada siapapun.

"Loh Ran, kaget. Kakak kira siapa yang duduk disini."

"Eh Kak."

Kak Anin diam di ambang pintu.

"Gak kerasa ya udah seminggu aja, kangen rasanya."

"Kakak juga. Tapi kita gak boleh terus-terusan sedih, Ibu udah gak sakit lagi. Pasti kemaren rasanya sakit banget bagi Ibu."

"Iya Kak, cuma masih gak nyangka aja. Padahal Aran mau wisuda ya."

"Kan masih ada Kakak, Bang Boy, ada Chika juga."

"Hehe iya Kak."

Kak Anin malah ikut duduk disampingku.

"Ngobrol gih sama Chika, kasian dia dari kemaren nungguin kamu. Tapi kamunya ngehindar terus kan?"

"Ngobrol apa?" Aku berbasa basi. Karena sebenarnya aku pun bingung, apa yang harus dibicarakan?

"Ya tentang kalian. Kakak ngerti, kalian pasti belum bener-bener selesai 'kan?"

"Ada banyak hal yang perlu kalian bahas, Kakak gak mau nuntut kamu tentang obrolan kita hari itu. Kalo kamu bahagia, kakak juga bahagia."

"Aran cuma ngerasa lagi gak ada energi buat ngobrol serius, kaya kosong aja gitu. Dari kemaren sebenarnya udah pengen ngajak Chika jalan sekalian Aran juga bisa cari angin, tapi Aran ngerasa Aran lagi pengen baikin dulu dunia Aran. Baru ngobrol sama Chika."

"Iya tau, Kakak juga ngerti maksud kamu. Kita sama-sama kehilangan. Mungkin Chika juga. Chika sayang tau sama Ibu."

"Aran tau."

"Ya makanya jangan karena kamu sedih kehilangan Ibu, kamu jadi harus kehilangan Chika juga. Emang mau?"

"Gak tau. Hahah, Aran mau tidur disini ya Kak." Aku merebahkan badanku di kasur Ibu, memeluk guling kesayangannya.

"Kakak serius loh ya, sebelum kamu telat. Chika kemaren bilang sama Kakak, besok kan Jumat, dia besok pulang dari kantor mau ketemuan dulu sama seseorang."

"Yaudah kan cuma ketemuan. Kenapa sih?"

"Iiih kamu mah, nanti kalo taunya terakhiran, kaget, sebel. Yaudahlah, nanti besok jangan lupa itu air."

"Iya iya." Maksud Kak Anin air adalah, air yang harus kubawa ke makam Ibu. Air doa selepas pengajian 7 harinya Ibu.

Tapi apa yang dimaksud aku tahu terkhiran akan kaget? Apakah Chika akan dilamar seseorang? Dengan mantannya mungkin.

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang