Segala yang hilang dari semesta pasti akan ada gantinya. Entah itu dengan hal yang sama atau dengan rasa ikhlas yang tak berkesudahan.
Perginya Ibu hari itu ternyata mengantarkanku pada titik pencarian yang tidak pernah bisa kutemui di halaman mana Ibu menyisipkan obat penawarnya.
Aku sedang melamun di teras rumah, kemarin malam seusai membenahi seisi apartemen aku pulang untuk menemui Kak Anin namun sampai pagi ini aku belum berani mengajaknya berbicara perihal catatan Ibu. Kulihat tanaman dalam pot-pot kecil di halaman rumah sedikit mengering. Bahkan setiap sudut jendela kaca pun tak bersih dari debu.
Rumah tanpa Ibu saja berantakan bukan? Bagaimana dengan hidupku yang sudah harus terbiasa tanpanya?
“Ran..” Panggil Kak Anin yang datang duduk di kursi sebelahku.
“Eh Kak.”
“Ngeliatin apa sih? Oh tanaman Ibu ya, kelupaan nyiram itu. Harusnya agak digeser biar kehujanan.” Kak Anin bangkit dan menggeser beberapa pot kecil agar tidak terhalang oleh kanopi.
“Rumah tanpa Ibu selain sepi ternyata berantakan ya Kak.” Aku bukan maksud mengatai Kak Anin perihal rumah yang tidak terawat. Ini sedikit melibatkan perasaan rindu, kesepian dan hancur.
“Haha, apalagi hidup kita ya?” Kurasa Kakakku ini mengerti kemana jalan pikirku.
“Terserah kamu nyebutnya apa Ran. Tapi Kakak tau, kita mungkin hanya lagi pura-pura. Atau mungkin sekedar menjadi jagoan. Tapi rasanya emang lebih berat dari sekedar hidup tanpa Ayah.”
Pot-pot kecil itu sudah Kak Anin siram dengan bantuan selang panjang dari keran yang ada di carport. Setidaknya mereka harus hidup lebih panjang daripada pemiliknya. Itu doaku yang masih lekat menatapnya.
“Pernah kepikiran tinggal bareng Ayah gasih Kak?” Bukan pertanyaan tiba-tiba, aku sudah memikirkan ini sedari tadi malam.
“Haha jangan bercanda.”
“Tapi Aran nanya serius.”
“Dulu pas Kakak masih kecil gimana rasanya?” Sambungku.
“Apanya?” Tanya Kak Anin balik.
“Ya tinggal pas ada Ayah. Aku rasanya belum pernah diceritain gimana waktu itu pas Kakak masih kecil dan Ayah masih sama kita?” Kak Anin diam seolah tidak ingin menjawab. Sedikit gelisah sebenarnya harus bertanya sejauh ini.
“Kamu mau tinggal sama bajingan itu?” Sindir Kak Anin sedikit sinis.
“Nggaklah. Ngapain? Kaya nggak punya tempat tinggal aja. Aran cuma penasaran, peran dia saat itu sejauh apa?” Selang panjang sudah berhasil digulung lalu Kak Anin duduk kembali di sebelahku.
“Kamu tau sudut 180 derajat arahnya gimana? Ibarat kita jam enam pagi dan dia jam 12 siang. Jauh banget. Ibu di Selatan dan bajingan itu ada di Utara.”
Lantas apa yang Ibu sebut baik?
“Tanpa Kakak jelasin harusnya kamu paham Ran. Kakak berubah, kamu berubah, setiap orang bisa berubah ke arah mana yang mereka inginkan secara sadar. Kalo ada yang bilang terpaksa berubah karena keadaan, itu hanya kalimat pengantar. Yang sebenernya itu semua orang bisa berubah karena dirinya ingin berubah.”
“Kamu masih baik sama Chika karena apa?”
“Ya karena aku masih cintalah.” Jawabku.
“Kamu kemaren sempet mau nyerah dan nggak mau merjuangin Chika lagi. Itu kamu sadar nggak kalo kamu mulai berubah karena keadaan?” Aku menggeleng tapi aku mengerti.
“Ada atau tanpa alasan, kalo kamu mau nyerah dan bener-bener stop ngejar Chika yang menurut kamu saat itu udah ngga ada harapan, kalo kamu mau pasti kamu beneran ngelakuinnya kan? Maksud Kakak kamu pasti akan stop disana. Gak perlu berangkat umroh, nyamperin Chika ke Singapore, kamu pasti bener-bener stop dihari itu aja tanpa kelanjutan apapun.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cintaku
FanfictionTuhan memang satu, kita yang tak sama. "Akan seperti apakah akhir dari kisah ini?" Monolog Chika. #1 - Aran (6May) #1 - bedaagama (30June)