16.

265 49 29
                                    

"Remedy!"

***







Duduk mendengarkan perkataan-perkataan yang sebenarnya sangat mudah dicerna oleh pikiran ini membuatku kelaparan.

Mencoba tetap terlihat biasa saja di antara sahut menyahut yang belum kunjung usai.

Aku tersenyum tipis melihat kedepan. Melihat mereka sudah saling diam.

Akhirnya pertemuan ini selesai.

Ya, sudah 3 hari aku menghadiri acara kantor di Singapore sebagai salah satu delegasi pilihan dari kantor. Tentu aku tidak sendiri tetap membawa 2 staffku.

Setelah malam itu menangis semalaman paginya aku terbangun karena panggilan VIP dari Direktur Bank yang memberikan tugas dadakan untuk acara ini.

Entah harus senang atau justru sebaliknya.

Aku baru keluar dari ballroom menuju pelataran gedung ini, ternyata cuaca siang ini cukup terik, seterik teriakan Ibu Aran 4 hari yang lalu. Panasnya membuatku kaku. Enggan beranjak.

"Bu Chika, ini kita langsung pulang atau kemana?" Tanya Freya.

"Kita jatah disini sampe kapan?" Tanyaku balik.

"Di jadwal sih malem nanti Bu, tapi besok kan libur Bu. Apa pulangnya gak besok aja biar malem ini bisa jalan-jalan dulu malem mingguan gitu? Kalo boleh aku reschedule."

Jangankan jalan-jalan, memikirkan aku harus apa saja rasanya aku enggan. Aku melihat keduanya bergantian.

"Boleh, senyaman kalian aja ya. Tapi mungkin saya gak ikut. Kalian bisa pakai mobil kantor buat pergi-pergi. Saya bisa naik taxi." Kataku.

"Loh, emang gapapa Bu?" Tanya salah satu rekan kerjaku yang lainnya.

"Sans aja, saya tau kalian juga butuh spend time buat refresh biar gak mumet. Saya duluan ya."

Aku meninggalkan mereka berjalan sendirian entah akan kemana. Setidaknya aku bisa merenung sendiri.

Menyusuri trotoar yang panasnya tertutupi tinggi gedung tentu nyaman bukan?

Berlalu lalang dengan orang-orang yang tidak dikenal. Bersikap tidak acuh kepada sekeliling.

Selama di Singapore aku hanya membawa dan  mengaktifkan ponsel khusus pekerjaan kantor. Untuk urusan pribadi, endorse termasuk dengan Aran sengaja kutinggalkan di apartemen.

Lagipula aku hanya mengandalkan javamifi yang difasilitasi kantor sebelum keberangkatan. Tidak ada yang lainnya lagi.

Memesan kopi dan menikmati panjangnya River Singapore diantara orang-orang yang sibuk dengan kebahagiaannya terasa semakin menyedihkan.

DrrttttDrrrtttt

Sebuah panggilan masuk dari Freya.

"Halo Frey, kenapa?"

"Bu, kita di hotel pas banget mau jalan keluar di lobby ketemu sama Pak Zhafran. Pak Zhafran minta nomor Ibu, tapi aku gak kasih nomor Ibu ini Pak Zhafran bilang mau ketemu, boleh shareloc? Atau katanya boleh ngomong engga?"

"Gimana Frey?" Aku mendengar suara itu. Suara yang sudah 3 hari tidak aku dengar.

Bahkan ingin berkata merindukannya saja rasanya nyaliku tidak cukup untuk mengubur sebuah fakta.

Flashback on

"Sudah ibu bilang ibu gak suka kamu punya hubungan sama Chika yang mana dia bukan seorang muslim. Ibu bersikap baik padanya karena Ibu tidak ingin mengecewakanmu. Kamu tahu Aran? Kamu tahu?" Ibu berdiri dan menunjuk-nunjuk Aran.

Peri CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang