02

5.4K 361 6
                                    

Lebih penting menyempurnakan rasa cintanya dulu terhadap Allah
karena barangsiapa yang memberikan hatinya lebih dulu terhadap makhluk daripada Allah, maka ia harus siap untuk sengsara.

✧✧✧

Razzan melangkahkan kakinya memasuki rumahnya setelah memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Rumah yang cukup luas itu ia beli dengan uang tabungan dari hasil jerih payah usahanya sendiri sejak pertama kali Razzan meninggalkan desa tempatnya dilahirkan. Razzan itu lelaki yang mandiri, dari sekolah dasar ia sudah belajar menghasilkan uang sendiri walaupun hanya bekerja di perkebunan sawi milik orang tuanya sendiri, gajinya diberikan sesuai dengan pekerjaannya tak lebih dan tak kurang dan uang itu ditabung olehnya. Kemudian saat sekolah menengah pertama, dia belajar bekerja pada orang lain, pekerjaan apapun asal halal ia akan lakukan. Hingga saat Razzan lulus SMA, dia memilih melanjutkan pendidikan ke kota, masih saja sambil bekerja. Semua itu bukan karena dia tidak dibiayai oleh orang tuanya, tapi karena berdasarkan keinginannya sendiri. Hingga hasil dari segala kemandiriannya adalah segala sesuatu yang dia miliki sekarang.

Razzan memang merasa harus pulang untuk menemui orang tuanya yang mau menyampaikan hal penting padanya, walaupun dengan berat hati berpamitan dengan gadis yang dia ajak bicara tadi tanpa mendapatkan alamat gadis itu yang dia pinta. Niatnya meminta alamat gadis itu tentu adalah hal yang sangat baik, yaitu menemui orang tua gadis itu untuk mengajak gadis itu ta'aruf.

“Assalamu’alaikum, Abah, Ummi.”

“Wa’alaikumsalam, nak.”

Melihat Abah dan Umminya yang sedang duduk di sofa, Razzan melangkah mendekat pada mereka kemudian salim dengan kedua orang tuanya dengan sopan.

Sekitar tiga minggu sudah sejak orang tuanya kembali ke desa untuk mengurus perkebunan sawi milik mereka. Waktu yang cukup lama mampu menumpukkan kerinduan di hati Razzan pada orang tuanya.

Razzan memeluk Abahnya selanjutnya berganti memeluk Umminya.

Dengan penuh kesopanan dan rasa hormat kepada orang tuanya seperti kebiasaan Razzan kalau sudah lama tak berjumpa dengan orang tuanya, Razzan memilih duduk bersimpuh di lantai walaupun Umminya meminta Razzan duduk di sofa bersama mereka.

“Abah dan Ummi, apa kabar?”

“Alhamdulillah, kami baik.” Ridwan selaku ayahnya menjawab.

“Razzan, kami ingin menyampaikan hal penting untuk kamu.” Umminya Razzan—sebut saja Aisyah--membuka suara.

“Ummi, Razzan mohon maaf kalau tidak sopan, tapi apa sebaiknya kita bicara nanti? Ummi dan Abah juga baru sampai, istirahat atau makan dulu biar Razzan yang masak,” sela Razzan. Sungguh tidak ada niat tidak sopan, ia hanya ingin mencairkan suasana. Entah karena apa, Razzan tidak mengerti atau memang hanya perasaannya saja karena ketegangan sudah terasa saat ia baru saja menapaki rumahnya.

“Baiklah, kita makan dulu. Biar Ummi aja yang masak.” Aisyah tersenyum, mengusap bahu Razzan. Perhatian sekali putra tunggalnya itu padanya.

“Razzan bantu?”

“Nggak pa-pa, sudah. Biar Ummi aja, Ummi tau kamu pasti kangen masakan Ummi.”

“Iya Ummi.” Razzan membalas dengan senyumnya yang mengembang. Anak mana yang tidak merindukan masakan Ibunya?

•••

“Assalamu’alaikum, Bah kopi.” Razzan menyusul Ridwan yang sedang duduk di teras rumah, membawakan secangkir kopi panas sebagai teman mereka mengobrol.

“Wa’alaikumsalam. Wah kamu tau aja apa yang ada di kepala Abah.”

Razzan duduk di bangku sebelah Abahnya lalu keduanya menikmati kopinya masing-masing.

Buket Bunga untuk Almeera (Versi Baru) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang