35

2.1K 116 1
                                    

Pagi ini matahari tampak cerah, tak seperti hari-hari sebelumnya yang lumayan sendu.

Namun, matahari cerah itu tak bisa membuat perasaan seorang gadis ikut merasa cerah. Gadis itu sekarang sedang duduk di bangku halaman depan yang biasa ia duduki bersama kakaknya.

Setelah puas dengan hanya menghela napas, Ayana terdiam karena tak tau apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Ia juga mendadak lupa cara berpikir, karena dari tadi pikiran hanya tertuju pada satu yang masih tak bisa ia putuskan.

Menerima atau menolak?

Bagaimana Ayana bisa memutuskan pilihannya di saat Ayana saja masih belum tau bagaimana cara menerima ataupun menolak. Ya ya ya Ayana bisa seandainya ia diberi permen yupi sekotak, ia akan terima dan jika ia diberi bungkus permen yupi saja, ia akan tolak.

Namun, masalahnya di sini adalah kebimbangannya tentang menerima atau menolak perasaan seseorang padanya. Di saat seperti ini otaknya sungguh-sungguh buntu karena ia sama sekali tak punya pengalaman tentang hal tersebut.

Pikirin perasaan lo, Ayana!

Setelah kalimat itu terlintas di kepalanya, Ayana sadar, ia telah memikirkan sesuatu yang sudah ada jawabannya, bukan di otak, melainkan di hatinya. Hatinya sudah memiliki jawaban atas semua yang ia pertanyakan.

Ayana menyadari bahwa perasaannya tak sama sekali bertaut pada laki-laki bernama Gaffi itu.

"Aghh, lebih baik capek bantuin kak Almeera nyiram bunga dari pada harus capek mikir ginian."

Ayana mendengus sembari memukul kepalanya yang membuatnya meringis sendiri.

"Kak Almeera, Iya!" Ayana berseru seakan mendapatkan sesuatu yang ia cari-cari.

Ayana menelpon Almeera. Ada sesuatu yang harus ia selesaikan dan Ayana membutuhkan Almeera untuk membantunya.

"Assalamu'alaikum, calon ibu dari anak-anaknya kak Razzan." Ayana berkata setelah telponnya kepada Almeera tersambung.

Dapat Ayana dengar bagaimana tawa merdu kakaknya di sebelah sana lalu menjawab, "wa'alaikumsalam, ada apa Ayana?."

"Kak, Aku mohon temenin aku pergi ya."

"Pergi? Pergi kemana? Ayana kamu punya masalah apa?" Tentu saja Almeera salah paham dengan perkataan adiknya.

"Aku cuma minta temenin ketemu Zeya, boleh?"

Almeera ber oh ria.

"Tapi kakak harus izin dulu sama suami kakak," jawab Almeera. Dia tidak mungkin pergi tanpa persetujuan Razzan.

"Iya tenang aja, kalau perlu sekarang aku pergi ke sana buat minta izinin."

"E-ehh nggak perlu, Ay. Kakak bisa kok izin sendiri."

"Kakak tutup telponnya buat minta izin ya? Dadah Ayana sayang, assalamu'alaikum."

Almeera menutup telponnya begitu saja, membuat Ayana heran apa yang membuat Almeera tak mau ia sampai pergi ke sana.

Mencoba menghiraukan, Ayana memilih menelepon Zeya untuk membuat janji dengannya dan juga Gaffi.

•••

Langkah kecil Almeera membawanya menghampiri Razzan yang sedang mencuci mobil.

"Marjan," panggil Almeera.

Perhatian dari mobil yang Razzan siram teralih pada Almeera yang berjalan mendekat padanya, ia segera menyambut tangan istrinya.

"Sayang, kenapa ke sini? Di sini licin." khawatir Razzan membawa Almeera menjauh dari tempat yang basah.

Buket Bunga untuk Almeera (Versi Baru) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang