40

2.1K 117 0
                                    

"Tidak akan turun derajat suami yang senantiasa memuliakan istrinya."

Kepada suami yang senantiasa memuliakan istrinya•

✧✧✧

Setelah mengerjakan isya bersama, Razzan dan Almeera kemudian melanjutkan tadarus bersama. Satu juz qur'an berhasil mereka selesaikan. Razzan yang berperan sebagai pengarah, memperbaiki dan mengajari istrinya.


Kemudian pasangan itu menutup bacaan mereka. Mushaf-nya Razzan letakkan kembali ke tempatnya.

Razzan kembali menghampiri Almeera yang sudah duduk selonjoran di atas sajadahnya. Perempuan itu enggan melepas mukenanya karena merasa kedinginan dengan cuaca malam ini.

Tanpa kata, Razzan merebahkan dirinya dan menjadikan paha Almeera sebagai bantal.

Almeera mengulas senyumnya. Dengan tangannya ia elus helaian rambut suaminya yang lembut.

"Marjan, dingin nggak?" Usapan tangan Almeera berpindah ke pipi Razzan, berniat agar Razzan dapat merasakan telapak tangannya yang dingin.

Bukan jawaban yang Almeera peroleh, melainkan kecupan hangat Razzan di telapak tangannya.

"Sudah lebih hangat?" Sepertinya Almeera memang merasa lebih hangat. Terbukti dari pipinya yang memanas dan mulai terbit semburat kemerahan.

Tidak dijawab oleh Almeera, Razzan memilih bangkit untuk mengamati lebih dekat bagaimana wajah istrinya saat ini.

"Mawar yang mekar di taman milik kamu kalah indahnya dari mawar yang mekar di wajah kamu."

"Humaira-nya Razzan. Masya Allah, kamu selalu cantik sekali," kata Razzan. Sampai kapanpun Razzan akan merasa Almeera selalu cantik sekali dengan pipi yang kemerah-merahannya itu.

Kalimat dari Razzan selalu berhasil memporak-porandakan perasaannya. Mampu membuat ribuan mawar mekar dengan sekejap di wajah Almeera hanya karena kata-kata sederhana dari suaminya.

"M-minuman marjan juga kalah manis dari Marjan-nya Almeera." Sebagai pengalihan salah tingkahnya. Almeera mencoba melemparkan godaan kepada Razzan, yang justru malah membuat Razzan terkekeh geli. Dibandingkan dengan merk sirup tentu terdengar lucu bagi Razzan hingga ia mengacak dengan gemas kepala istrinya.

"Kok ketawa?" Manyun wanitanya itu. Razzan hanya menggeleng sembari berusaha menghentikan tawanya.

Razzan meraih kembali tangan istrinya. Tangan itu terlihat sangat kecil jika dibandingkan dengan tangannya. Razzan menggenggamnya, merasa tangan itu sangat dingin, kekhawatiran tiba setelahnya.

"Subhanallah, sayang. Kamu kedinginan, ayo pindah ke ranjang supaya lebih hangat." Dengan gerakan pelan, Razzan bantu Almeera berdiri. Ia biarkan Almeera berjalan menuju ranjang, sementara ia melipat sajadah lalu menyimpan kembali ke tempatnya.

Razzan keluar dari kamar tanpa mengatakan apapun pada Almeera. Membuat Almeera kebingungan karena tak sempat bertanya kemana Razzan akan pergi.

Namun, tanpa waktu lama Razzan telah kembali menghampiri Almeera dengan membawa segelas susu hangat.

"Mas Razzan bikin ini buat aku?"

"Iya, biar kamu lebih hangat. Minum susunya, setelah itu saya peluk agar lebih hangat." Lalu memberikan susu hangat tersebut pada Almeera.

Setelah mengucapkan terima kasih dengan tulus. Almeera meminumnya hingga habis setengahnya. Sisanya ia bagi pada Razzan, agar Razzan menikmatinya juga. Tentunya Razzan menyambut dengan senyuman yang terukir. Kemudian ia meminum tepat pada bekas bibir istrinya di gelas tersebut.

Perlakuan Razzan memang sangat ampuh, bukan hanya menghangatkan tubuh tapi juga perasaan Almeera.

Razzan meletakkan gelas kosongnya ke meja nakas.

Tahu-tahu Razzan menaikkan kaki Almeera ke pangkuannya.

"Mas Razzan mau apa?"

"Tadi kamu lari jauh, nanti kaki kamu sakit. Jadi izinkan saya pijat kaki kamu," ujar Razzan yang sudah menggerakkan tangannya memijat kaki Almeera dengan pelan.

Almeera mencoba menarik kakinya. Almeera memang berlari ke rumah Syifa tadi sore tapi Almeera tidak merasa berlari jauh. Bisa dibilang Razzan terlalu melebihkan, tapi Almeera tahu itulah bentuk kekhawatiran dari suaminya.

Namun, kalanya Almeera merasa terlalu dimuliakan oleh suaminya. Padahal menurutnya, ialah yang harus lebih memuliakan Razzan karena di sini Almeera yang seorang istri dan Razzan adalah suaminya. Pendapatnya, istri lah yang harusnya lebih memuliakan sang suami, tapi sekarang Almeera merasa Razzan yang terlalu memuliakannya.

"Mas Razzan nggak perlu, nggak pa-pa, kaki aku baik-baik aja." Pelan, Almeera menolak untuk Razzan memijat kakinya.

"Kenapa? Cuma saya pijat sebentar."

"Aku nggak mau, mas."

"Di sini aku yang berperan sebagai istri kamu, aku yang harusnya buatin kamu susu hangat, aku yang harusnya pijat kaki kamu. Kamu suami aku, sudah seharusnya aku yang melayani kamu, aku menghormati kamu dan istri yang memuliakan suami. Juga bukan tugas kamu yang selalu melayani aku, kamu nggak perlu terlalu memuliakan istri kamu," ungkap Almeera panjang lebar, menyuarakan pendapat sekaligus ketakutannya. Ia takut selama ini menyalahi tugasnya sebagai istri yang seharusnya melayani suami, malah kebalikannya.

"Sayang, dengerin mas!" Razzan perlahan mendekat pada istrinya. Razzan tatap lekat netra bulat nan indah milik istrinya.

"Jangan selalu beranggapan bahwa derajat istri lebih rendah dari suami. Bukan seperti itu. Rumah tangga tentu dijalani berdua, bukan? Maka tugasnya juga dijalani berdua, sama-sama melayani, saling menghormati."

"Misalnya suami lelah setelah bekerja, istri memijat suami, membuatkan teh hangat, menyiapkan air hangat lalu menyiapkan makan. Begitu juga bagi suami, kalau istri kelelahan sehabis mengerjakan pekerjaan rumahnya, suami boleh membantu memijat istrinya. Kalau istri kedinginan, suami boleh membuatkan susu hangat. Tidak akan turun derajat suami yang senantiasa memuliakan istrinya."

"Sayang sekarang sudah paham, hm?" Razzan menanyai, Almeera masih bergeming.

"Sayang?" Lembut sekali Razzan memanggil, mengusap bahu istrinya dengan sangat lembut pula.

"Maaf." Almeera yang lebih dulu memeluk lelakinya, menyandarkan kepala di dada bidang Razzan. Detak jantung suaminya memang selalu menenangkan, Almeera selalu seperti mendengar irama lembut dari detak jantung Razzan.

Mungkin karena dulu Razzan pernah bilang, kalau Almeera adalah bagian dari detak jantung itu. Razzan bilang setiap detak itu adalah cinta untuknya.

Tak ingin terus membuat istrinya terpikir tentang hal yang mereka bicarakan tadi, Razzan memilih mengajak Almeera tidur. Lagi pula malam semakin larut dan besok mereka sudah punya janji dengan Ummi Aisyah.

"Mari kita tidur. Besok sudah janji mau ikut Ummi ke desa, bukan?"

Almeera baru teringat setelah Razzan ingatkan.

Di rumah sakit waktu itu, Aisyah pernah berjanji membawa Almeera ke desa setelah Almeera sembuh untuk menenangkan pikirannya, ia tak mau menantunya bersedih karena kehilangan calon anak mereka. Besok adalah harinya.

Nah Alhamdulillah udah bisa up foto

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Nah Alhamdulillah udah bisa up foto.

Lama nggak ketemu, masih ingat suara kereta api kan?

Vote, vote, vote!!!

Buket Bunga untuk Almeera (Versi Baru) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang