[Hanya fiksi]
•••••••
"Ku kira terjadi sesuatu kepadamu, kau tau!"
Jisung menatap Chenle kesal.
Sekarang mereka berdua berada di pinggir sungai Han, menggelar karpet dan duduk menikmati angin. Terlalu bahaya memang, mengingat keduanya seharusnya tidak dikenali orang-orang.Chenle yang berusaha sembunyi, dan berpura-pura seolah sudah mati. Jisung yang harus sembunyi dari banyaknya haters agar tidak mati.
Chenle bersikeras mengajak Jisung di tempat terbuka seperti ini, membawa beberapa makanan yang disiapkan eomma Jisung, dan menikmati pemandangan. Dan untungnya, tidak ada yang menyadari keberadaan mereka memang.
"Harus bagaimana lagi? Ponselku jatuh di selokan saat aku pulang dari perpustakaan."
"Alasan konyol apa itu? Selokan? Kau harus mengambilnya!"
"Kau gila?! Kenapa juga aku harus mengambil ponsel yang jatuh di selokan."
"Kalau begitu beli lagi, kau banyak uang 'kan!"
"Diam Park Jisung! Yang penting, sekarang kau tau 'kan aku baik-baik saja. Jangan terlalu mencemaskan ku, itu memberatkan ku. Kurangi cintamu padaku, itu sedikit membuatku tidak nyaman."
"Yaaa!"
Jisung sudah mengangkat tangannya, hampir saja ia memukul Chenle. Tentu saja tidak Jisung lakukan, sementara Chenle tertawa puas.
Satu bulan lebih Chenle hanya fokus pada buku, dan bolak-balik rumah sakit untuk kesehatannya. Akhirnya ia bertemu Jisung, dan kembali tertawa. Chenle juga bahagia saat bersama Jisung, Chenle akui.
"Chenle-ya ... "
"Wae?"
"R–renjun hyung ... Bagaimana jika Renjun hyung masih hidup, seperti kau?"
Chenle menatap Jisung sekilas, lalu berdecak kecil. "Itu tidak mungkin," ucap Chenle.
"Waee?? Chenle-ya kau tau, hari yang sama saat Mark hyung bangun, aku menerima panggilan. Dan saat aku melihat pemanggil, itu adalah nomor Renjun hyung!!"
"Itu bukan Renjun hyung, berhenti membicarakan kecelakaan itu Jisung-ah."
Chenle menatap Jisung malas. Sebenarnya ia tidak suka dengan topik seperti itu.
"Chenle-ya kau tau, setelah kecelakaan itu hidupku berubah."
"Hidupku hancur. Jika hidupku adalah rumah, mungkin rumah itu sudah sangat hancur berantakan, dan gelap."
"Antara percaya, dan tidak percaya, tapi harus percaya. Aku sangat takut, kesepian, merasa bersalah. Aku ... Aku hanya berharap apa yang terjadi padamu, terjadi pada Hyung lain juga."
"Aku hanya ingin dugaan ku benar, kalau yang meneleponku adalah Renjun hyung dan Renjun hyung masih hidup. Aku sangat berharap, kalau kalian semua sebenarnya masih hidup. Aku—"
"Kecelakaan itu membuatmu takut bukan? Kalau begitu jangan ungkit terus Jisung-ah."
Chenle menatap lurus, pandangannya kosong. Ia kembali memutar ingatan terburuknya.
"Aku tidak tidur Jisung-ah ... Saat kecelakaan itu terjadi, aku terjaga."
"Kau tidak akan tau, betapa menakutkan saat silau lampu truk menyinari wajah mu."
"Kau tidak akan tau rasanya, saat suara klakson truk yang memekik itu memenuhi telingamu. Semakin mendekat, dan kau tidak bisa apa-apa. Kau hanya bisa berteriak, pasrah, dan akhirnya ... "
Chenle menundukkan kepalanya, mencoba menahan air matanya. Tangannya menggenggam erat karpet.
"Itu kecelakaan, aku tidak langsung tidur atau tidak sadarkan diri. Aku juga kesakitan. Sangat sakit saat tubuhku membentur benda apapun itu. Rasanya sangat pusing, sakit sampai mau mati."
"Ya, karena aku memang hampir mati."
"Rasanya, aku melihat maut di depanku. Tidak ada yang kupikirkan saat itu, hanya ketakutan. A–aku benar-benar ketakutan."
"Perasaan yang tidak bisa aku jelaskan itu membuat ku trauma, dan bisa saja membuatku gila Jisung-ah. Setelah bangun, aku harus ke psikiater untuk. Kau tidak tau 'kan?"
"Kecelakaan itu adalah ingatan terburuk yang aku punya, kumohon jangan ungkit hal itu terus. Aku akan gila."
Jisung menatap bahu Chenle yang bergetar, dan mulai merasa bersalah. Benar, bukan dia yang tersakiti. Chenle lah yang kesakitan. Chenle yang mengalami kecelakaan itu, Chenle lah korbannya. Kenapa ia banyak mengeluh?
"Maaf Chenle-ya ... "
"Kau tidak perlu minta maaf, karena itu bukan salahmu juga. Aku hanya minta jangan ungkit tentang kecelakaan itu, dan tentang Renjun hyung ... Aku ke rumah Renjun hyung sebelum ke sini, Renjun hyung sudah meninggal Jisung-ah."
"Kau harus menerima kenyataan, Hyungdeul sudah ditakdirkan untuk meninggalkan kita."
"Baiklah ... Aku minta maaf karena terus mengeluh."
"Kalau kau sangat ingin minta maaf, kalau begitu belikan aku ramyeon."
Jisung mengernyit. "Ramyeon?"
"Majja! Akhh ... Aku sangat merindukan ramyeon Korea. Ayo kita ke toko serba ada, dan makan di sana."
Chenle menarik paksa Jisung menuju market. Jisung hanya pasrah, dan sedikit menundukkan kepalanya takut seseorang mengenalinya. Chenle memang semaunya sendiri.
Sampai di market, mereka berdua pun menyeduh ramyeon dan memakannya di sana langsung.
Jisung menatap Chenle lama, membuat Chenle menghela napasnya panjang lalu menoleh. "Sudah kubilang, kurangi cintamu padaku. Itu membebani ku Jisung-ah," ucap Chenle.
Jisung masih tersenyum lebar. "Aku bahagia Chenle-ya ... Gomawo. Terima kasih sudah bertahan hidup."
Chenle mengangguk kecil, lalu menyuap ramyeonya. "Kau berhak bahagia Jisung-ah ... "
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 1. I'm Alone : Park Jisung
Fanfiction[Lengkap] Apa yang akan terjadi, jika Jisung tanpa Hyungnya? Bagaimana jika suatu hari, Jisung kehilangan Hyung-hyungnya? . . . ⚠️Don't PLAGIAT! Start : 4 Mei 2022 Finish : 17 Juni 2022