18. Cara Yang Benar

5.4K 545 13
                                    

"Aku sampe sini aja," pinta Ita.

"Ha? Nggak! Aku anter sampai rumah. Sekalian jelasin ke orangtua mu."

"Nggak Sa! Pokoknya aku mau turun disini!"

"Kasih aku alasan!" Sebagai laki-laki Ia bertanggung jawab memulangkan gadisnya sampai depan rumah.

"A-Aku nggak mau kamu kena marah. Gimana pun juga ini salah ku karena nolak pulang." Ita menunduk layu. Tangannya saling bertaut. Bukti bahwa ia sedang cemas. "Biar mereka ngira aku yang kabur. Aku udah biasa kena marah. Jadi mending kamu pulang aja."

Alih-alih menjawab Hesa memilih diam. Ia menepikan motornya yang secara ajaib masih bisa jalan setelah kecelakaan itu. Yah, kerusakannya juga tidak terlalu parah.

"Aku tetap anterin sampe rumah," kekeuh Hesa. Bagaimana mungkin ia membiarkan gadisnya dimarahi sendirian.

"Nggak! Kamu pulang aja!"

"Aku nggak takut dimarahi. Seharusnya kamu udah di rumah jam delapan tadi. Tapi karena aku nggak hati-hati kamu jadi harus nungguin wali orang itu dateng. Kayak kamu yang mau tanggung jawab atas kecelakaan tadi. Aku pun mau tanggung jawab nganterin kamu selamat sampe rumah. See? Adil kan?"

"Saa! Kamu.... Tck! Udah sih nurut aja.... aku ngelakuin ini demi kelanjutan hubungan kita. Orangtua ku pasti nggak akan bela kamu. Mereka pasti salahin kamu. Aku paham karakter mereka. Please.... aku nggak mau kamu di cap jelek cuma gara-gara hal ini."

Hesa membuang nafas. Ia menggapai pucuk kepala Ita lalu mengelusnya. Berharap tindakan itu bisa menenangkan hati gadisnya. Ita terlalu panik.

"Kalau gitu jangan larang aku untuk nganterin sampai rumah mu. Percayalah, aku nggak akan buat hubungan kita berakhir," ucap Hesa penuh keyakinan.

"Aku nggak mau kamu dibenci Papa!" Ita masih kekeuh dengan pendapatnya.

"Ta, aku laki-laki yang bertanggung jawab. Aku yang udah memperparah keadaan kamu saat ini. Izinin aku jelasin di depan orang tua mu. Ya?"

"Aku mau jalan aja!" elak Ita. Ia meninggalkan Hesa termangu.

"Rumah kamu blok tiga kan? Oke, aku kesana duluan. Silahkan kalau mau jalan," Hesa melajukan motornya.

Tindakan Hesa justru bagai bumerang buat Ita. Ia membuat Ita nekat berlari. Ia terengah-engah mengejar motor Hesa yang sudah napak kecil di penglihatannya.

Menyadari Ita yang berjongkok Hesa terpaksa kembali. "Makanya nggak usah ngeyel. Yuk, naik."

Tanpa menjawab Ita langsung menyergap kunci motor Hesa dan menaruhnya di kantung roknya. Seringai jail itu terbit tak berdosa.

"Ta! Balikin!"

"Ambil kalau bisa!" tantang Ita.

Itu perkara gampang namun moral Hesa tidak mengizinkan. Bagaimana bisa ia meraba rok Ita hanya untuk mengambil kunci motor. Ia bergelut dengan pikirannya sendiri sebelum tatapan Ita menyendu.

"Sa, aku nggak mau hubungan kita berakhir cuma masalah sepele--"

Hesa menggapai pundak Ita. "Bagi ku nggak sesepele itu Ta. Aku punya prinsip. Cewek nggak boleh pulang di atas jam delapan malam. Dan aku udah langgar prinsip itu."

"Oke. Aku tau! Sekarang aku kasih pilihan dan apapun resikonya ini keputusan mu." Ita menatap intens. Mengacungkan jarinya. "Satu, Kita ke rumah dan jelasin apa yang terjadi dengan resiko kita putus atau dua, kamu pulang dan percayakan masalah ini sama aku. Kamu pilih cara yang mana?"

"Aku pilih cara yang ke tiga. Cara yang benar!" Hesa menggapai tangan Ita. Mengusap kemudian menciumnya singkat. "Percaya sama aku," ucapnya yakin.

***

AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang