Siang hari di tengah musim kemarau. Terik matahari seolah membuat fatamorgana semu di aspal jalan. Pedagang kaki lima keliling tak surut memotivasi diri untuk berjualan melewati tiap-tiap perumahan komplek.
Mendengar bunyi khas pedagang siomay yang biasa lewat membuat Ita bergegas. Ia buru-buru membuka pintu. Diikuti si kembar Zera dan Zeno yang justru kesenangan melihat Ita berlari.
"Om beliii!" pekik Ita.
"Om beyiiiikk!" diikuti Zera dan Zeno kompak.
Bagai pinang dibelah dua. Kelakuan ibu dan dua anak itu sontak menyita pejalan kaki yang lewat.
"Kompak amat Bu," sahut Abang somay.
"Hehe, namanya juga anaknya bang."
"Somaynya mau campur atau gimana Bu?"
"Beli sepuluh ribu campur ya Bang, tapi nggak usah pakai tahu sama telor," sahut Ita.
"Mamaa, Zela mau adek baco yang telol aja," pekik Zera.
"Zeno uga Maa."
Karena suatu insiden membuat ragam kata tentang somay berubah jadi adek bakso. Jika diingat Zera dan Zeno sendiri yang menciptakan istilah itu.
Waktu itu untuk pertama kali Zera dan Zeno ikut festival di dekat perumahan. Ada beberapa lomba yang ditawarkan untuk kategori batita.
Zera dan Zeno berpartisipasi lomba senam sehat dan memenangkan hadiah. Di akhir acara semua peserta lomba diberi somay gratis.
Mereka memandang heran dua pentol somay itu sebelum masuk ke mulut. Ita mendengar celotehan menggemaskan mereka yang bilang bahwa bentuknya kayak bakso tapi rasanya beda. Akhirnya mereka memutuskan menamai adek bakso pada makanan yang baru pertama kali mereka rasakan.
"Dua lagi ya bang. Lima ribu yang telur aja nggak pakai bumbu," lanjut Ita.
"Zela pakai umbu Maa."
"Huhah sayang. Nanti sakit perut."
"Hih! Pake umbu!" ucap kesal Zera. Kakinya dihentak-hentakan.
"Anti huhah lho," sahut Zeno menenangi.
"Bialin!"
"Kalo huhah anti pupu-na encet lho."
"Iya. Zera kan nggak bisa makan pedes. Nanti kalau udah mencret Zera di bawa ke rumah sakit terus ketemu sama Dokter Ningsih dan disuntik, mau?" jelas Ita, mengingat dulu ia langsung mencret seusai mengonsumsi somay gratis dari festival.
Walau terus manyun tapi akhirnya Zera menyetujui. Penting bagi Ibu memberi tahu resiko dari segala tindakan anak.
Salah satunya seperti ini. Jika makan pedas maka Zera akan mencret. Resikonya ketika mencret ia akan dibawa ke dokter. Cara ini melatih anak supaya bisa mengambil keputusan dengan baik.
"Ita?"
Suara familiar wanita memenuhi indra pendengaran. Ita menoleh dan mendapati Ria dan Haris, orangtuanya.
Raut ceria Ita mengendur digantikan suasana suram. Harus diakui bahwa kedua orangtuanya lah yang membawa keadaan ini pada Ita tanpa boleh menolak. Menumbuhkan keykinan baru bahwa mereka hanyalah orangtua buruk yang menumbalkan anaknya.
Ita buru-buru menyelesaikan urusan per-somay-an. Membawa orangtuanya masuk ke rumah.
"Sayang... kalian mau nonton film Doraemon?" tanya Ita pada kedua anaknya yang tengah melahap somay.
"Mauu," jawab kompak keduanya.
"Oke, sekarang ikut Mama yuk."
Mereka mengekor ketika Ita membawa keduanya ke kamar. Makan dan nonton TV dalam kamar jarang Ita ajarkan mengingat kebiasaan yang akan muncul setelahnya. Hal itu akan memunculkan kebiasaan dimana anak akan nyaman hanya di dalam kamar sehingga interaksi dunia luar berkurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)
Fantasia[Follow dulu sebelum baca ya gaes] "Kalau diberi kesempatan untuk mengulang waktu. Hal pertama yang mau kamu ubah apa?" "Tidak pernah bertemu dengan suamiku!" Ita diberi kesempatan oleh sang waktu untuk menulis kembali hidupnya. Namun, siapa yang me...