1. Malaikat Tak Bersayap

22.9K 1.8K 27
                                    

Welcome to tempat halu. Dunia bagi hati yang dipaksa ikhlas menerima kenyataan.
Sejenak, ayo lari dari kenyataan.
.
.
.
Happy Reading





Tina memandang datar pada sosok di depannya. Rambut lepek, kulit tidak terawat dan kantung mata tebal itu rupanya cukup membuatnya menghela napas berkali-kali.

Sejak kapan sahabatnya ini tidak pandai mengurus diri? Seingatnya saat SMA dulu ia paling rajin mengajaknya pergi perawatan.

"Ta, besok ke salon yuk," ujar Tina.

"Mana bisa. Gue udah punya dua buntut yang pasti minta pulang belum sampai sepuluh menit," dagu Ita menunjuk pada dua bocah sedang asik bermain di kolam bola warna-warni.

"Kalau ajak ke mall atau cafe anak kayak gini gue masih bisa tenang. Soalnya ada tempat main."

"Ya elah, gue ngajak ke salon buat me time. Lihat kantung mata lo. Panda aja bisa insecure."

Perempuan dua anak itu mengarahkan kamera handphone-nya untuk membenarkan perkataan sahabat SMA-nya. Memang benar!

Alih-alih mengeluh seperti zaman SMA dulu. Ita hanya menghela napas dan menaruh handphone-nya kembali. Seolah hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari.

"Kabar orang itu gimana?" tanya Tina menyelidik.

"Siapa?"

"Suami lo lah. Ya kali Pak Yanto tetangga sebelah," canda Tina.

"Hehe. Yah, kayak biasa. Sibuk dengan dunianya."

Tatapan Ita menyendu. Tak dapat dibohongi beban pikiran di raut wajahnya.

"Ta.... udahlah. Ada saat di mana lo harus nyerah. Dan sekarang saatnya!" gegas Tina menggebu.

"Kayaknya lo masih dendam sama dia ya? Padahal ini udah hampir lima tahun gue nikah," selidik Ita.

"Tck! Siapa yang nggak dendam. Dia ngambil kebebasan lo gitu aja. Asal lo tau Ta, orang yang melamar gadis SMA tepat di hari kelulusannya dinamakan pedofil! Nggak inget umur tuh orang!"

"Mending tanggung jawab! Mana yang katanya bakal jaga lo? Idih! Lo masih mau mempertahankan dia?"

"Hahaha. Lo kalau udah benci ke orang udah kayak mau ngutuk aja. Emang cuma Tina gue yang kayak gini," kekeh Ita.

Selepas terkekeh, ia memandang cup greentea di depannya. Lagi-lagi tatapannya menyendu. "Entahlah.... banyak hal yang udah gue korbankan sampai di titik ini. Ya, mungkin salah satunya kebebasan."

"Seberapa besar penyesalan yang gue punya. Gue tetap bersyukur masih punya dua pentolan yang cukup jadi alasan buat nggak cerai. Lagi pula, keluarga gue udah terlanjur bergantung sama dia. Papa nggak akan sanggup bayar biaya pinalti. Karena jaminan atas pernikahan gue sama dia nggak lain adalah investasi dalam jumlah besar."

"Gue nggak bisa memutuskan sepihak di saat semua tali mengarah ke gue. Lo ngerti kan?"

"I-iya sih. Tapi, suami lo itu sampah Ta! Sumpah! Ayah kayak dia nggak baik buat perkembangan si kembar Zera dan Zeno."

AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang