Susunan berkas tampak menggunung di meja Ita. Tak luput tangan dan punggungnya terasa pegal karena sejak tadi bergelut dengan dokumen anggaran.
Beberapa bekas cup kopi pun nampak di meja gadis itu. Padahal ia punya pantangan minum mengandung kafein.
Harus bagaimana lagi? Menyalahi atasan yang sudah memberi tugas? Walau suka ngeluh tapi Ita masih punya harga diri untuk tidak kalah saing oleh perempuan di sampingnya.
Sasa tersenyum simpul saat menyadari Ita menoleh. Terpaksa ia pun membalasnya walau canggung.
"Istirahat nanti mau nitip nggak? Aku mau keluar," ujar Sasa disela mengelompokan dokumen dari tahun ketahun.
"Memang mau kemana?"
"Emh, tadi disuruh Pak Raga ambil snack untuk rapat. Sekalian kalau kamu mau nitip boleh," tawar Sasa kembali.
Kata 'disuruh Pak Raga' entah mengapa membuat Ita merasa posisinya tergeser. Biasanya Ita yang meng-handle pekerjaan itu.
"Nggak deh makasih. Aku ada janji makan di luar bareng pacar ku," tolak Ita.
"Eh.... kamu udah punya pacar?" Raut Sasa terlihat terkejut.
"Iya."
"Hm, aku pikir masih single soalnya Pak Raga keliatan tertarik tuh sama kamu. Beliau tau kalau kamu punya pacar?"
Sebenarnya kemana alur pembicaraan ini? Kalau dugaan Ita benar mungkin saja Sasa ingin mengorek kehidupan sosial Ita. Supaya ia tidak tersaingi. Karena terlihat jelas kalau saat ini Sasa menyukai Raga.
"Taulah jelas. Hesa sama Pak Raga pernah ketemu kok. Waktu itu Pak Raga bantu proses pengadilan ku. Padahal udah ku bilang nggak usah. Tapi tetap aja maksa mau bantu."
"Oh. Gitu ya."
Ita melirik sekilas. Wajah Sasa tampak muram. Tidak salah kan kalau saat ini Ita tersenyum? Jika diperhatikan Sasa cuma ingin tahu tentang Raga. Buktinya ia tidak bertanya lebih lanjut tentang pengadilan itu.
"Mau kemana?" tanya Ita yang melihat Sasa bangkit.
"Mau nyerahin berkas ke bagian admin."
"Hem, titip kopi... boleh?" pinta Ita halus nan lembut. Padahal niat hati sengaja merepotkannya.
"Boleh," ucap Sasa sebelum pergi.
Hati Ita tampak puas. Ia bersandar di kepala kursi menikmati udara kemenangannya. Di masa itu, Ita selalu kalah dari Sasa.
Tidak lama Sasa kembali dengan membawa kopi pesanan Ita. Setelah itu, ia harus bolak-balik bagian administrasi karena beberapa berkas yang terselip.
Ita yakin para senior bagian administrasi juga menyimpan iri pada Sasa. Mengingat Ita juga dulu pernah jadi sasaran karena bisa bekerja di samping Raga.
"Anu ...,Ta?" panggil Sasa.
"Kenapa?"
"Kamu disuruh ke ruang rapat sama Pak Raga," ujar Sasa.
Pasti disuruh beli es kopi lagi. Seperti biasa. Tapi, di luar dugaan. Ita harus berdiam cukup lama di ruang rapat. Pandangan Ita tertuju pada tiga karyawan yang sedang duduk dengan kepala tertunduk. lta pun ikut duduk di antara mereka.
"Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Ini menyangkut pekerjaan," ucap Raga dengan wibawa.
"Kalian tidak keberatan saya ganggu waktunya?" Mereka pun mejawab tidak keberatan. Memang siapa yang berani menentang Direktur?
Tatapan Raga tampak tegas dengan kedua maniknya menatap tanpa celah. Di sampingnye terdapat Sasa yang berdiri sembari memeluk dokumen.
Melihat situasi ini. Ita dan tiga karyawan ini seolah dalam situasi gawat di mana atasan sedang menegur bawahannya. Lalu, detik berikutnya praduga Ita terbukti nyata.
"Di sini kalian bekerja. Kalian punya job desk masing-masing yang sudah disetujui selama kalian melamar kerja. Kalian tau apa maksudnya itu?"
"Kita harus menjalankan kewajiban kami sebagai karyawan sesuai job desk yang ada," jawab salah satu karyawati.
"Good! Tapi.... akhir-akhir ini saya lihat. Ada beberapa orang yang keluar dari tanggung jawab. Melimpahkan pekerjaan kepada yang lebih muda karena merasa senior di kantor ini." Dengan sindiran tajam itu Raga melirik mereka yang tengah menunduk. Tidak terkecuali Ita.
"Dan parahnya lagi.... ada beberapa orang yang mengerjai trainer baru dengan melimpahkan tugas yang seharusnya bukan tugasnya."
Seringai Raga mengembang singkat. "Memangnya kalian yang menggaji trainer baru itu?"
Mereka tampak diam. Tidak berani beradu pandang dengan Raga. Kecuali Ita. Ia terus menatap nyalang. Maksudnya apa bilang seperti ini? Seolah Ita melakukan hal senioritas itu! Lalu detik berikutnya, Ita tahu alasan kenapa ia diposisikan dengan senior-senior di sampingnya.
"Sasa.... coba sebutkan siapa aja yang suruh kamu mondar-mandir mengurus dokumen yang harusnya jadi pekerjaannya bagian Administrasi."
"I-itu...." jawab Sasa ragu.
Lihatlah wajah sok ketakutannya itu! Benar-benar memuakan!
"Katakan saja. Walaupun kamu masih baru. Akan ku jamin posisi mu."
"Kak Shinta, Kak Maya.... emh, Kak Rosa lalu.... emh.... I-Ita...."
BRAK!
"Sejak kapan aku nyuruh-nyuruh kamu?!" Putus sudah urat kesabaran Ita!
"Oh.... kopi itu? Kalau kamu nggak mau, bilang! Aku nggak maksa kok!"
"Ita...." tegur Raga pelan.
"Bu-bukan kopi itu.... se-seharusnya dokumen yang kita kelompokan tadi bukannya kita harus mengerjakan sama-sama? Tapi menurut ku, kamu terlalu mengandalkan ku untuk pergi ke bagian Administrasi. Di sana pun aku di suruh kesana kemari sama senior. Jadi.... ini nggak adil."
"Bilang dong kalau keberatan! Aku pikir kamu sanggup sendiri karena seharusnya itu semua pekerjaan kamu! Aku tuh cuma kasian. Makanya bantu kamu. Oh... kamu belum tau posisi ku ya? Coba kamu tanya sama atasan mu!" lirik Ita pada Raga.
Semua mata menyorot ke Raga. Dengan satu tarikan nafas. Raga menjelaskan semuanya.
"Ita bukan termasuk karyawan di sini," pandangan Raga beralih ke Ita. Kakinya jejak melangkah ke tempat Ita duduk. Lalu seulas senyum tampak sejurus dengan tangannya merangkul pundak Ita. "Dia asisten pribadi ku."
Ita menengok tangan Raga yang berada di pundaknya. Lalu menatap heran pada Raga. Ini orang kesambet apa? Berani nyentuh anak orang sembarangan!
Merasa risih, Ita sengaja menggoyangkan pundaknya hingga tangan Raga tidak menepi lagi di sana.
"Ehem.... jadi tujuan saya memanggil kalian. Supaya tidak ada senioritas lagi. Ini bukan laporan dari pihak Sasa saja tapi saya lihat dengan mata kepala sendiri. Bahkan asisten pribadi saya juga pernah mengalaminya," lirik Raga pada Ita.
"Ini peringatan pertama. Jika saya melihatnya lagi. Maaf, saya tidak bisa mempertahankan kalian di sini."
"Baik Pak," jawab mereka kemudian pergi.
Sedangkan Ita, ia masih tetap di tempat. Menatap tajam pada Sasa.
"M-maaf Ta... aku nggak tau kalau kamu-"
"Tck! Basi!" ucap Ita kemudian berniat pergi.
Sasa hendak berpamitan sekaligus mengucapkan terimakasih ke Raga. Namun, detik itu juga ia sadar. Saat memandang wajah itu, ada kata memuja yang ia tujukan pada gadis yang telah pergi tadi.
Membuat Sasa kesal!
Malam harinya Ita dikabari kalau Hesa sakit. Tentu saja bukan Hesa yang mengabari langsung karena orang itu mana mungkin membahayakan Ita dengan keluar malam.
Ita mendapatkannya dari Zio. Teman kampus Hesa yang pernah beberapa kali bertemu dengan Ita.
Berkat kabar dadakan itu, Ita harus buru-buru ke apartemen Hesa. Ia mengendarai mobil seorang diri.
Hmmmm.. Hesa ku sakitt gaes. Satu sih obatnya.
ITA!
Vote komen yak
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)
Fantasy[Follow dulu sebelum baca ya gaes] "Kalau diberi kesempatan untuk mengulang waktu. Hal pertama yang mau kamu ubah apa?" "Tidak pernah bertemu dengan suamiku!" Ita diberi kesempatan oleh sang waktu untuk menulis kembali hidupnya. Namun, siapa yang me...