Ruang suram yang menunjukan eksistensi hukuman dunia itu tampak gelap dan pengap. Ita berjalan menyisiri bilik jeruji dengan panduan kepala sipir di depannya.
Setelah bukti dan rekaman video itu diserahkan. Kasus itu dinilai tindak kriminal oleh hukum. Tidak ada pembelaan dari keluarga Tina. Fano mendekam di penjara sesuai keinginan Tina.
Entah sudah berapa banyak kata maaf yang Mama Tina ungkapkan. Bahkan ia membalas dengan bertekuk dihadapan Ita. Namun, siapa yang mengharapkan demikian? Bagi Ita mau permintaan maaf sebanyak apapun itu tidak akan membawa Tina kembali.
Ita menatap orang di balik kaca bening dengan lubang ventilasi dengan tatapan jijik. Jangankan membalas tatapan Ita, Fano menunduk malu sejak kedatangannya sepuluh menit lalu.
"Dengan ini semoga anda bisa merenungi perbuatan anda!" ujar Raga membuka keheningan mewakili Ita.
"Nggak ada lagi yang bisa saya ungkapkan selain rasa kecewa. Semoga Kakak hidup dalam penyesalan selamanya," ujar Hesa kemudian.
Hesa sengaja mengawal Ita yang ngotot ingin bertemu. Tak elak, Raga yang mengurus proses pengadilan pun turut hadir menemani Ita karena khawatir.
Sehelai tarikan nafas terdengar, "Kak, apa ini masa depan yang kakak inginkan? Tina... bukankah dia juga berhak bahagia? Jangankan bahagia, saat ini kakak bahkan tidak bisa melihat senyum palsunya lagi."
"Sehat selalu Kak, Jangan berpikir untuk mati sebelum Kakak merasakan penderitaan Tina! Mulai dari sini, rasakan penyesalan seumur hidup sampai untuk tersenyum pun nggak sanggup!"
Seperginya Ita terdengar jeritan kuat. Untuk menoleh pun Ita tidak sanggup. Jika ia lakukan, mungkin air matanya akan mengalir lagi sehingga merusak citra kuat yang sejak tadi ia pertahankan.
Sekarang telah usai, perkara pelik yang tidak ada dalam rencana hidupnya. Ia melangkah tegas meninggalkan gedung tahanan sebelum langkahnya berhenti karena dua tangan yang mencegahnya.
"Tck, nggak lihat kalau hujan?"
"Hujan sayang."
Kedua laki-laki itu saling memandang sebelum salah satunya mengalah. Raga menatap Ita yang memandang datar pada langit mendung.
Senyum itu perlahan mengembang, ia mengingat Tina di masa depan yang mengajaknya pergi ke salon saat di cafe anak. Selagi harapan masih ada, Ita mengajukan satu permohonan di mana Tina hidup bahagia di suatu masa.
"Tina, ayo ketemu lagi di salon langganan kita," ujarnya sendu.
Hesa tersenyum simpul melihat Ita melahap habis makanannya. Peristiwa itu sudah berlalu cukup lama. Mental Ita perlahan kembali pulih. Hanya saja ada satu kebiasaan aneh yang muncul sejak saat itu.
"Sayang, pelan-pelan makannya," sahut Hesa lalu mengelap dessert yang tertinggal di bibir Ita.
Sejak saat itu, entah kenapa nafsu makan Ita semakin bertambah. Jika itu pengalih perhatian atas rasa sedihnya. Hesa tidak keberatan sama sekali. Lebih baik mendengar keluhan yang mempermasalahkan berat badan dari pada mendengar tangis pilunya.
"Habis ini mau kemana lagi?" tanya Hesa.
"Balik ke kantor. Kamu juga balik ke kampus gih. Nanti ada kuliah kan jam satu?"
"Iya sih. Tapi-"
"Apa? Mau bolos?! Lihat aja sampe ada yang bolong di absen mu!"
"Widih, galak banget cantik ku. Iya-iya." Mereka pergi bersama, setelah memesan lagi dessert sogokan untuk Raga.
Sebenarnya dalam sebulan ini berat badan Ita seperti roket meluncur ke bulan. Ia sering mengeluh tapi tidak bisa bergenti.
Baik Hesa sebagai pacarnya pun tidak menyuruhnya berhenti. Berbeda dengan Raga, tidak ada hubungan apapun tapi rutin mengomelinya jika ketahuan bawa camilan di meja. Dan demi apapun, Ita kesal akhir-akhir ini kantor tidak menyiapkan makanan ringan malah menggantinya dengan salad atau buah-buahan di jam istirahat.
Imbasnya, ia terus memberi tatapan tajam pada Raga karena orang itulah yang mengusulkan sepihak.
"Apa mata mu bermasalah?" sahut Raga di sela keheningan.
"Enggak kok," jawab Ita jujur.
"Hm, aku takut itu bermasalah karena dari tadi melirik ke sini tanpa beralih sedikit pun."
Sesuai dugaan, Raga kembali ke sifatnya. Memang apa yang Ita harapkan dari orang ini? Pernah membantunya di pengadilan bukan berarti sifatnya itu akan berubah.
"Oh, itu karena saya mewakili penduduk kantor atas usulan sepihak Bapak. Karena saya yakin mereka hanya berani bicara di belakang. Barangkali setelah ini Bapak sadar," sindir Ita.
"Usulan apa?"
"Mengganti makanan ringan jadi salad dan buah. Memangnya apalagi?!"
Raga tidak menggubris, ia lebih memilih Ipadnya. Yah, sudah bisa ditebak sih. Manusia angkuh itu, mana mau diprotes!
"..., kesehatan mu," gumam Raga.
"Apa Pak?" sahut Ita kemudian.
"Nggak ada. Buat kopi! Sekarang!" titahnya angkuh.
Tsk! Memang sialan orang kayak Raga. Bisanya cuma nyuruh sama protes! Giliran diprotes balik nggak mau!
Ita beralih untuk membuat kopi lalu sekelebat berkas di meja Raga mengalihkan perhatiannya. Mata Ita tertuju pada profil di atas kertas putih itu. Paras cantik yang dipuja-puja seisi kantor di kehidupan lalu. Sasa!
Tanpa sadar Ita langsung mengambil kertas itu. Matanya tidak salah menangkap wajah orang yang dengan gampangnya menghancurkan rumah tangganya.
Di masa ini dan di timing ini, Ita akan berhadapan lagi. Lalu pertanyaannya, apakah hati Ita sudah siap?
"Ada masalah?"
Suara Raga mengalihkan atensi Ita. Ia menangkap raut penuh tanya Raga dan berpikir, siap tidak siap bukankah Ita sudah memutuskan untuk memilih Hesa? Tidak ada lagi harapan tertinggal untuk laki-laki ini.
"Ini berkas apa?"
"Perekrutan sekretaris baru. Aku nggak bisa mengandalkan Reon terus apalagi mengandalkan mu"
Oh, Shit! Sempat-sempatnya!
"Menurut mu, dari tiga orang itu. Mana yang paling bagus?" tanya Raga. Tumben sekali Ita dilibatkan memutuskan sesuatu.
Di sini Ita punya pilihan untuk mengagalkan pertemuan Sasa dan Raga. Tapi, Ita menyadari satu hal. Menghindari atau mengubah takdir bukanlah sesuatu yang gampang seperti membalikan telapak tangan. Akan ada konsekuensi dan Ita sudah berjanji tidak akan berurusan dengan takdir lagi semenjak Tina pergi.
"Semuanya bagus, mereka punya kelebihan sendiri-sendiri. Terlepas dari kelebihan mereka bukannya Bapak yang harus memilih teliti. Pilihlah yang menurut Bapak nyaman. Karena waktu Bapak akan banyak dihabiskan bersama orang ini," ujar Ita profesional.
Jujur saja, di sela keprofesionalannya ada sebagian kecil dari dirinya yang tidak rela. Mungkin cintanya belum sepenuhnya hilang. Jika ikhlasnya tidak selapang langit merelakan hujan mungkin diam-diam Ita akan membakar CV Sasa.
Sudahlah, pemikiran seperti itu hanya akan menyakiti dirinya lagi seperti dulu. Ita beralih untuk menyajikan kopi.
Sang pelukis senja telah menciptkan pemandangan memukau. Dari ketinggian lantai empat yang Raga tempati ia memandang jauh pada kilau orange yang menghiasi kota ini.
Secangkir kopi buatan Ita yang sempat ia dapatkan sebelum gadis itu pulang habis tak bersisa dalam genggamannya. Raga melirik berkas di meja. Matanya menyorot sendu,
"Harus yang nyaman ya?" Sudut bibir Raga tertarik hingga menciptakan senyum indah dibalik cahaya senja.
"Kalau gitu aku pilih yang ini aja," finalnya.
Sebuah profil yang menampakan seorang gadis tengah tersenyum manis dengan riwayat pengalaman kerja kosong bahkan hanya punya ijazah SMP berhasil menarik hatinya.
Bantu vote komen yak
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)
Fantasia[Follow dulu sebelum baca ya gaes] "Kalau diberi kesempatan untuk mengulang waktu. Hal pertama yang mau kamu ubah apa?" "Tidak pernah bertemu dengan suamiku!" Ita diberi kesempatan oleh sang waktu untuk menulis kembali hidupnya. Namun, siapa yang me...