43. Satu Pertanyaan

1.5K 116 17
                                    

Raga memandu jalan seperti biasa sedangkan Ita mengekor di belakang. Perjalanan lumayan jauh ke gerai ternama ini tidak menghasilkan apapun, Mereka berjalan keluar tanpa membawa satu pun paper bag.

Saat melewati beberapa gerai Ita mendapati sepasang cincin terpampang di etalase. Memorinya terbuka lagi di masa itu. Cincin dengan design sama yang pernah melingkar di jari manis Ita sebagai bukti ikatan suci pernikahan mereka.

"Kenapa?" tanya Raga yang heran dengan berhentinya Ita.

"Nggak apa-apa," saut Ita kemudian melangkah lagi.

Mereka melajukan mobil kembali. Menuju tempat dimana Ita bisa tersenyum bahagia melihat jajanan-jananan ringan pinggir jalan.

"Nah, di sini tempatnya. Bapak nggak pernah kesini kan?" tanya Ita sumringah. Ia tidak sabar mencoba satu per satu jajanan yang ada.

"Iya," jawab Raga sekenanya. Ia terlalu takjub oleh senyum langka itu.

Ita hilang kendali. Ia menclok kesana kemari membeli jajanan sampai tangannya penuh.

"Bapak nggak beli?" tanya Ita setelah sadar Raga tidak membawa apapun.

"Bingung mana yang enak."

"Ih makanya jangan ngurusin bisnis terus. Sekali-kali ke tempat kayak gini dong. Biar nggak prik banget," ejek Ita. Walaupun begitu Ita tetap menawari cilor gulung.

"Mau coba nggak? Menurut ku ini sih yang paling enak."

Raga menyaut tusuk cilor dan melahapnya, "gimana? Enak kan?". Raga terkesiap beberapa detik kemudian mengambil kembali tusuk cilor lainnya.

Melihat respon itu, Ita menyimpulkan Raga menyukainya. Memang dari dulu nikmat cilor gulung tidak bisa ditolak.

"Yang itu apa?" tanya Raga menunjuk cilok mercon yang hampir masuk ke mulut Ita.

"Oh yang ini jangan karena... eh!"

Hap!

Tangan Ita dibawa ke depan mulut Raga dan satu cilok berhasil masuk tanpa hambatan. Ita menganga sejurus kemudian Raga kalap seperti orang gila menghentak-hentakkan kaki sambil berjalan melingkar.

"Makanya jangan asal comot!" hardik Ita sembari menyerahkan botol minum yang habis dibeli.

"Nggak ngomong kalau itu pedes!"

"Bukannya nggak ngomong tapi nggak sempet ngomong bapak udah main telen aja."

Ita memantau Raga yang masih kepedasan. Sudut bibirnya terangkat saat mengingat sudah dua orang yang menjadi korban cilok mercon.

"Ngapa senyum-senyum? Seneng liat orang kepedesan?! Beliin minum lagi yang dingin!" titah Raga seringan bulu.

"Tsk! Dasar kepedesan makin nyebelin aja tuh orang!" dengus Ita.

Setelah beberapa menit hilang sudah rasa panas di mulut Raga. Masih seputaran jajanan, Raga memperhatikan hilir berganti orang-orang lewat.

Mata itu mengawasi sosok gadis yang tengah mengantre bakso tusuk sambil berebutan dengan anak sekolah. Jika itu Ita, Raga tidak heran. Padahal ia tidak perlu mengantre pun Raga bisa membeli bakso segerobaknya.

Jika Raga yang dulu mungkin akan berfikir seperti itu. Tapi sekarang..., ia ingin berubah demi gadis pemilik senyum manis itu.

Tring!

Sebuah notifikasi terdengar. Ita memang ceroboh menaruh handphone sembarangan. Berkat itu Raga hanya bisa geleng-geleng kepala.

Ah! Sepertinya Raga punya ide bagus. Ia ingin memberi sesuatu ke Ita. Tapi selalu ditolak. Dengan landasan itu ia nekat mengutak-atik handphone Ita. Membuka akun shopee-nya dan checkout semua barang di keranjang. Pembayaran akan masuk ke rekening Raga.

AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang