Kata siapa iri itu mudah dihilangkan? Kenyataannya manusia membawa sifat itu dari sebelum peradaban dimulai. Dengan kata lain, iri adalah suatu penyakit yang sudah mendarah dagaing.
Seperti Ita saat ini, bukankah kemarin ia bilang tidak ingin berurusan dengan takdir lagi? Sekarang melihat Sasa menjadi sorotan di kantor saja membuat ia ingin menghilangkan eksistensi orang itu selamanya.
Benar! Setelah seleksi berkas dan beberapa test dilakukan. Raga akhirnya memilih Sasa sebagai sekretarisnya. Sesuai dengan alur takdir.
Lihatlah, Pembawaan elegan, tubuh proporsional dan wajah itu. Bagaimana bisa Tuhan tidak adil dengan memberinya wajah mulus nan glowing seperti dilumuri minyak?!
Lama memperhatikan sampai tidak terasa tangannya tidak sengaja menyenggol cup kopi panas hingga jatuh. Pekikan mengaduh terdengar setelahnya karena kakinya melepuh akibat terkena siraman air kopi.
Selamat! Ita berhasil mendapat perhatian Raga dan Sasa.
"Kamu nggak apa-apa?" ujar Raga sembari mengulurkan tisu.
"Hm."
"Ke ruangan kesehatan sekarang."
"Hm."
Ita sengaja merespon cuek. Entahlah! Hatinya benar-benar tidak bisa diatur. Ia melenggang sendiri tanpa melihat wajah Raga sama sekali.
"Ditaruh mana ya salepnya," monolog Ita ketika sadar tidak ada orang di ruang kesehatan.
"Di laci no tiga," sahut seseorang. Berkat itu Ita langsung menengok ke sumber suara.
"Bapak ngapain kesini?"
"Aku lupa kasih tau, penjaga ruang kesehatan baru resign kemarin. Takutnya ada orang ceroboh yang nggak melihat tulisan ini," tunjuk Raga santai pada petunjuk menempel di dinding.
"Ternyata benar. Ada satu orang ceroboh tidak memperhatikan sekitar dan nyelonong masuk aja."
"Maaf," ucap Ita datar. Ia sibuk menata hati dengan perasaan aneh ini.
Raga mengambil alih salep lalu mendudukan Ita ke brangkar. Perlahan ia meraih kaki melepuh Ita. Keningnya mengernyit ketika Raga mengusap salep ke ruam merah itu.
"Aku bisa sendiri," sahut Ita.
"Maaf. Aku yang akan mengobati mu."
Apa barusan Ita salah dengar? Kata itu bukankah tabu dikeluarkan dari mulutnya?
Dengan terampil Raga membalut lepuhan kulit Ita. Ita tidak bisa mengelak. Pernyataan maafnya tadi seolah menghipnotis Ita untuk mematung beberapa saat.
Manik mereka bertemu. Ita jelas melihat tatapan sendu Raga. Dalam hatinya menjerit. Tatapan apa itu? Seorang Raga tidak pernah menampakan raut sendu bahkan pada anak-anaknya pun.
"Maaf udah membuat mu jadi kayak gini," ucap Raga lirih.
"Ini kecerobohan ku. Kenapa Bapak yang minta maaf?"
"Bukan itu. Maksud ku. Maaf untuk semuanya. Aku sadar banyak merepotkan mu."
Ita terperanjat. Makanan apa yang dikonsumsinya tadi pagi?
"N-nggak masalah kok. Sa-santai aja."
"Lebih baik kamu izin pulang," usul Raga yang langsung dapat penolakan tegas. "nggak!"
Sudah cukup! Raga harus jadi Raga yang dingin karena jika ia mencair akan aneh rasanya. Terlebih, Ita semakin tidak bisa mengontrol degub jantungnya.
Keadaan awkard ini harus diakhiri! Ita pun beranjak dari duduknya, "B-bukannya Bapak harus memantau Sekretaris Sasa? Sebaiknya kita segera kesana. Pasti dia kebingungan sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)
Fantasi[Follow dulu sebelum baca ya gaes] "Kalau diberi kesempatan untuk mengulang waktu. Hal pertama yang mau kamu ubah apa?" "Tidak pernah bertemu dengan suamiku!" Ita diberi kesempatan oleh sang waktu untuk menulis kembali hidupnya. Namun, siapa yang me...