42. My Presious

1.5K 118 5
                                    

"Gimana? Mau dibawa ke rumah sakit sekarang?" ucap Zio yang masih setia menunggu setelah kedatangan Ita.

"Dianya nggak mau. Takut disuntik katanya."

"Haha. Cupu emang. Badan doang gede."

"Emang Zio nggak takut disuntik?" selidik Ita.

"Yaa. Takut sih. Tapi kalau yang nyuntik cantik kayak Ita bisa dibicarakan baik-baik. Hehe."

"Pergi lo makhluk abstral!" Sebuah suara menginterupsi interaksi mereka bersamaan dengan itu bantal sofa melayang tepat mengenai wajah Zio.

"Njing! Lo ditolong malah ngelunjak!" gertak Zio tidak terima.

"Hes. Kok keluar sih. Udah sana tiduran lagi," seruduk Ita. Melihat ia berdiri aja mampu membangkitkan rasa khawatirnya.

"Iya! Takut bener pacarnya di apa-apain. Gue masih punya akhlak kali," gerutu Zio.

"Makanya gue keluar. Karena gue tau akhlak lo menguap kalau liat cewek cantik," balas Hesa tak mau kalah. Ia duduk di tengah-tengah. Menjadi penghalang antara Zio dan Ita.

Ita menunggingkan senyumnya. Ternyata Hesa bisa bertindak kekanakan seperti ini.

"Coba aku liat," ucap Ita sembari menempelkan telapak tangan ke kening Hesa.

"Masih panas," gumam Ita kemudian. Hesa yang disentuh keningnya sedikit terlonjak dan ketika sudah terbiasa ia menuai tatapan manja. Persis seperti Zeno saat sakit. Sebenarnya Ita menahan diri untuk tidak mengunyel-ngunyel pipi Hesa.

"Hais! Diabetes lama-lama." Hentak Zio melangkah keluar.

"Mau mana?" sahut Hesa.

"Beli cemilan Njing!" sarkas Zio. Spontan Hesa menutup kedua telinga Ita. "hais! Kalau ngomong nggak bisa dijaga!"

"Sorry ya?"

Ita tersenyum simpul. Hesa adalah laki-laki tepat yang patut ia pertahankan.Tapi, kenapa akhir-akhir ini ada perasaan aneh terhadap orang itu?

Sukar diakui tapi ini benar terjadi. Ita tidak bisa mengikis istilah 'cinta pertama memang indah tapi cinta terakhir tidak mudah dilupakan'.

"Tiduran di sofa ya?" tawar Ita yang tidak tahan melihat keringat dingin Hesa. Setelah berdehem Ita beralih ke kamar untuk mengambil bantal dan selimut.

Saat kembali, Ita melihat punggung Hesa. Itu adalah punggung yang senantiasa menyambutnya. Ita menjatuhkan bawaan kemudian melewati batasan dirinya untuk memeluk Hesa.

"Sayang?" panggil Hesa yang menyadari Ita memeluk dari belakang.

"Bentar…. bentar aja. Ada yang mau aku pastikan," saut Ita. Ia tenggelam dalam perasaan abstraknya.

"Memastikan apa?"

".... Perasaanku."

Hesa tidak bergeming. Membiarkan Ita adalah cara ia menghargai. Hesa tau, sejak dulu ia tidak benar-benar memiliki hati gadisnya.

"Ita ..., kamu tau? Aku percaya sama istilah 'usaha tidak akan mengkhianati hasil'. Kalimat itu yang membuat ku bertahan sampai sekarang. Tapi, jika kamu ingin aku melepas keyakinan itu. Aku akan melakukannya," ucap Hesa bertumpu pada kepala sofa.

Di tengah demam tinggi. Hesa tersenyum, "soalnya aku nggak suka liat cantikku kebingungan kayak gini," lanjutnya.

Dalam suasana malam. Sepasang kekasih itu dirundung kesunyian. Ungkapan Hesa barusan adalah tamparan besar untuk Ita. Ia labil menentukan arah hatinya sampai ada orang seperti Hesa yang menggantungkan harapan.

AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang