29. BOOM!

6.5K 531 14
                                    

Hesa memandang sendu wajah Ita. Gadisnya sedang tidak baik-baik saja. Pundak itu bergetar. Menahan tangis. Membungkuk. Seolah kejadian ini terjadi karena dirinya.

"Aku tau ini berat.... kita kesini lagi kalau keadaannya mulai baik. Ucapan Kak Fano jangan dimasukin hati-"

"Tapi ucapan Kak Fano benar! Aku bawa pengaruh buruk buat Tina...."

"Ta. Yang nilai itu Tina bukan Kak Fano... pandangan orang beda. Setau ku, bagi Tina kamu temen yang paling bisa mengerti dia." Hesa menyeka air mata Ita. "Udah ya...."

"Tapi... Tina kayak gini gara-gara aku," beo Ita lagi. Isaknya semakin dalam dan perih.

Tidak ada yang mengerti. Bahkan Hesa sekalipun. Karena yang tau masa depan hanya Ita seorang. Seharusnya Tina tidak pernah mengalami hal mengerikan seperti ini jika Ita tidak menyarankan. Takdir yang ingin Ita ubah adalah miliknya. Bukan orang lain. Tapi karena lidahnya. Tina kena imbas.

Ita hancur! Sarannya lah yang membuat Tina celaka.

"Ba-bawa aku kemana pun Sa," pinta Ita sembari memegangi dadanya.

Mereka berakhir di sebuah apartemen tempat Hesa tinggal. Sudah berulang kali Hesa menenangkan Ita dari rancauan tidak jelas yang menyalahkan dirinya sendiri.

"Sa, aku harus gimana? Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki semuanya? Ini salah ku. Kalau aku diam Tina nggak mungkin jadi kayak gini."

Deru tangis lagi-lagi terdengar. Saat itu Hesa akan memeluk Ita. Mengusap punggungnya dan mengatakan, "ini bukan salah mu."

"Keberadaan ku aja udah salah Sa. Nggak seharunya aku ada di sini. Aku nggak mau demi kebahagian yang mau ku capai aku harus mengorbankan seseorang kayak gini. Aku nggak mau Sa! Nggak!" rancau Ita.

"Ssst. Keberadaan mu itu anugrah buat orangtua mu. Dan demi apapun. Adanya kamu udah buat hidup ku berubah. Jadi jangan pernah menyalahkan eksistensi kamu sendiri. Ya?"

"Semua orang punya waktunya dapat musibah. Dan kebetulan musibah yang dialami Tina kamu terlibat di dalamnya. Ini udah skenario Tuhan. Nggak ada yang bisa disalahkan. Ini jalan untuk mu jadi orang yang lebih tegar," ucap Hesa lembut.

Ita menghambur dalam pelukan Hesa. Menumpahkan segala kesal hatinya. Entahlah, Ita tidak bisa mencerna lagi kata-katanya. Ia sadar telah mengatakan sesuatu yang tabu di masa ini.

Perlahan kesadarannya terenggut digantikan nafas teratur. Hesa segera merebahkannya.

Jejak air mata masih terlihat jelas. Hesa benci dirinya tidak bisa melakukan apapun saat kakaknya Tina mengusir Ita. Sebuah kecupan singkat berakhir di pelipis Ita.

Hesa menjaga tidur Ita sampai ia terbangun.

***

Angin malam berhembus lembut. Dinginnya suhu paska hujan membuat Ita bersedekap tangan.

"Dingin ya?" tanya Hesa.

"Lumayan."

Mereka tengah dalam perjalanan untuk mengantar Ita pulang. Hesa membuka jaketnya kemudian ia pasangkan ke Ita saat mobil mereka berhenti di lampu merah.

"Thanks ya Sa. Aku hutang banyak sama kamu."

Hesa tersenyum simpul, "kayak apa aja."

Rumah Ita sudah nampak di depan mata. Tadinya ia berniat menyuruh Hesa untuk langsung pulang saja. Mengingat sudah malam dan Ita tadi memergoki Hesa sedang sibuk mengerjakan tugas.

Tapi, niat itu terlupakan berkat sebuah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Ita langsung keluar mobil dengan tergesa. Amarahnya memuncak begitu saja setelah orang itu muncul dibenaknya.

AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang