Hesa memandangi gadisnya. Bibirnya melengkung sempurna berkat ulah Ita yang menyuruhnya pura-pura menjadi komisaris. Bahkan Ita sudah susah payah mencetak foto Bapak-bapak random dari google untuk dipasangkan ke jidat Hesa.
Salah satu kelas menjadi saksi pelepas rindu sepasang kekasih ini. Jam sore membuat kampus lumayan sepi sehingga banyak kelas-kelas kosong yang bisa digunakan. Ita dan Hesa memanfaatkannya untuk latihan.
"Jadi gimana?" ucap Ita.
"Perfect! Penampilan mu selalu menarik," komentar Hesa.
"Ih bukan itu! Public speaking aku gimana? Nggak berantakan kan?"
"Enggak kok. Perfect." Kedua jempol Hesa melambung sebagai reward.
"Coba kalau Tina yang di sini. Pasti kamu komentar panjang kali lebar. Iya kan?"
"Hahaha. Nggak lah sayang. Aku serius. Nggak ada yang perlu ditakuti. Intinya kamu harus percaya diri. Masalah publik speaking itu ngalir aja. Pasti kamu bisa."
Ita menyudahi aksinya. Ia mengambil tempat di samping Hesa lalu meminum mineral.
"Coba dia rubah sedikit aja sikap angkuhnya. Minimal pengertian kek. Mungkin aku sedikit betah kerja di sana."
Tatapan Ita menyendu. Manusia itu hanya bisa berandai. Itulah sebabnya ada banyak harapan yang menggantung sampai terlupakan begitu saja.
Sorot Ita beralih. Ia terkesiap ketika Hesa menautkan jemari mereka.
"Nggak perlu mengubah sesuatu. Di depan mu ada orang yang rela memberikan semua perhatiannya. Jadi-" Mata Hesa beralih ke bawah. Ke bibir manis Ita.
Perlahan keinginan menguasainya. Tubuhnya bergerak seiring ambisinya, "Tetap di sisi ku."
Ita tidak bisa membodohi dirinya kalau laki-laki di depannya ini semakin lama semakin dekat. Hesa laki-laki baik dan karena itulah Ita menghindar.
Entahlah! Di momen sepersekian detik itu tiba-tiba Ita merasa belum siap. Aneh sekali! Padahal Ita pernah melakukan hal yang lebih intim tapi dengan Hesa rasanya sedikit berbeda.
"A-aku pingin main itu," tunjuk Ita pada ring basket di halaman. Pikirannya terlalu kalut untuk memikirkan hal lazim apa yang bisa menjadi topik obrolan.
"Oke. Aku ambil bolanya dulu ya. Kamu tunggu di sana aja," suruh Hesa. Ita pun menyanggupinya.
Mereka bermain one to one. Awalnya terasa canggung tapi berkat Hesa kecanggungan itu sirna digantikan gelak tawa.
Hesa selalu berhasil merebut drible Ita lalu Ita akan mengejar Hesa sambil melakukan segala cara agar Hesa melepaskan bolanya. Salah satu cara licik yang Ita gunakan adalah menarik baju Hesa atau memasang wajah memelas.
Walaupun begitu Hesa selalu mengalah dan membiarkan Ita menguasai bola. Tapi seribu sayang. Tubuh mungil itu tidak sanggup memasukan satu pun bola ke ring.
"Hesaa! Angkat aku," ucap Ita sembari menengadah ke ring.
"Kita kan rival sayang."
"Ih! Cepetan! Sekali aja aku pingin cetak gol."
Hesa terkekeh, "bukan cetak gol sayang, tapi cetak point," sejurus kemudian Hesa mengangkat pinggul Ita dan bola itu berhasil masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)
Fantasy[Follow dulu sebelum baca ya gaes] "Kalau diberi kesempatan untuk mengulang waktu. Hal pertama yang mau kamu ubah apa?" "Tidak pernah bertemu dengan suamiku!" Ita diberi kesempatan oleh sang waktu untuk menulis kembali hidupnya. Namun, siapa yang me...