Sera menutup mulutnya ketika menyadari tubuh Raga tergeletak di samping jendela besar apartemen. Hanya dengan beralaskan karpet beludru ia terpejam dengan botol alkohol di sampingnya.
Mendengar pekikan Sera, Reon langsung beralih ke sumber suara. Mendapati Raga yang tengah meringkuk tak berdaya.
Bau alkohol menguar pekat dari tubuh Raga. Di samping botol ada kapsul obat tidur dosis tinggi. Ini tidak benar! Apa ia akan mengakhiri hidup dengan cara mengoplos minuman keras dengan obat tidur?
"Sera bantu Kakak angkat Raga sampai mobil," titah Reon.
TUK!
Benda kecil jatuh dari genggaman Raga. Sera mendapati cincin menggelinding ke kolong sofa. Sejenak Sera merogoh dan mendapatkannya. Cincin itu mungkin berarti.
Semburat khawatir tercetak jelas pada kedua wajah itu ketika membopong tubuh Raga untuk dibawa ke rumah sakit. Semoga belum terlambat!
Sera menatap penuh prihatin pada raut pucat Pamannya. Setelah melewati proses medis. Akhirnya Raga dinyatakan aman.
"Kak Reon. Aku titip Paman bentar ya. Aku mau nengok Ita," saut Sera. Kebetulan mereka di rumah sakit yang sama. Begitu juga Hesa. Dua hari lalu ia berhasil melewati masa kritis dan telah tersadar.
"Gimana keadaan Ita sekarang?" tanya Sera pada laki-laki yang tengah duduk memunggunginya.
Hesa berbalik dengan wajah lesu dan tatapan kosong. Tatapan yang sama seperti Pamannya. "Ita baik-baik aja. Bentar lagi bangun," ucap Hesa yakin.
Saat mengetahui Ita koma. Ia tidak menerima kenyataan dan menganggap ucapan dokter hanya angin lalu. Seharian duduk di kursi roda tanpa sedetik pun berpaling dari mata terpejam Ita.
Sera menarik kursi lalu duduk sejajar dengan Hesa. Melihat Hesa yang seperti ini membuat tersadar bahwa laki-laki ini memliki cinta yang sama besar dengan yang dimiliki Paman nya.
"Nama mu Hesa kan?"
"Hm."
“Aku Sera. Teman kantor Ita,” Sera memandang tubuh Ita yang berbaring. "Beruntung ya Ita. Punya banyak orang yang sayang. Ita..., menurut ku dia bukan tipe orang yang tega meninggalkan orang. Bahkan orang asing kayak aku aja dia selamatin."
Sera menepuk pelan pundak Hesa, "karena itu jadilah orang pertama yang dilihatnya ketika membuka mata. Semangat….”
Setelah menguatkan Hesa. Sera kembali ke bilik Raga. Selama perjalanan Sera tersenyum mengingat betapa konyolnya pertemuan pertama dengan Ita.
Perlaham senyum itu menghilang. Di gantikan bibir bergetar menahan isak tangis. Jika pilihan menggantikan posisi ada. Mungkin Sera akan memilih terbaring koma menggantikan Ita.
^^^^^^
Semenjak pulang dari rumah sakit perilaku Raga tampak seperti biasa. Tenang dan damai. Seolah tidurnya Ita yang jadi penyebab si pekerja keras angkuh itu mengendurkan tujuan hidup bukan masalah besar.
Hal itu membuat Reon semakin khawatir. Sebab ia tau bagaimana seluk beluk karakter Raga. Reon menyebutnya si muka 'baik-baik saja'.
“Gimana keadaan lo?" tanya Reon entah sudah ke berapa kali.
"Baik-baik aja. Jangan tanya terus. Lo pikir gue anak lo?" ketus Raga.
"Mulut itu emang senjata lo ya!" sarkas Reon. Ia menaruh sekantung keresek besar makanan lalu disusunnya dalam kulkas.
Urusan dapur selesai. Pria matang itu beralih mengambil duduk sejajar dengan Raga di sofa. Sehelai nafas panjang terdengar sebelum melempar bungkus kecil berupa bubuk putih yang ia temukan tempo hari, "ini apa?" tanya Reon.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)
Fantasy[Follow dulu sebelum baca ya gaes] "Kalau diberi kesempatan untuk mengulang waktu. Hal pertama yang mau kamu ubah apa?" "Tidak pernah bertemu dengan suamiku!" Ita diberi kesempatan oleh sang waktu untuk menulis kembali hidupnya. Namun, siapa yang me...