10. Dia

8.2K 806 11
                                    

"Sayang, katanya teman-teman SMA mu besok bakal jenguk setelah ujian selesai."

Ha? Ita tidak salah dengar kan?

"Maksudnya Ma?" tanya Ita.

"Mereka mau jenguk kesini," jawab Ria seraya membuka botol air mineral.

Tunggu! Mereka? Seingat Ita hanya Tina teman sedari SMA-nya.

Ah sudahlah, pasti ada salah paham. Ita kenal betul kebiasaan Mamanya yang sering salah dalam memilih kata. Maklum udah jadi Nenek.

Mungkin saja Tina yang akan berkunjung. Biar Ita tebak! Pasti saat ini Tina panik karena mendengar berita kecelakaan Ita. Di samping itu, bukankah seharusnya dia di sini? Orang itu, Saraga Hillar, suaminya.

Apa rasa pedulinya bahkan sudah hilang bersamaan dengan deklarasi perselingkuhannya?

Ah, memikirkan manusia itu memang selalu berujung pelik! Mending Ita memikirkan hal-hal positif hingga bisa pulih dengan cepat. Karena orangtuanya berjanji jika Ita sembuh maka Ita akan bertemu anak-anaknya di rumah.

***

Ita tersedak tepat ketika seseorang masuk dari pintu dan memenuhi indra penglihatannya. Bagaimana tidak? Seorang Tina baru saja masuk dengan seragam SMA lengkap dengan tas dan sepatu hitam. Benar-benar lelucon terniat!

"Itaa...." panggilnya dengan raut khawatir. Sedangkan Ita justru menahan tawa. Apa ini aksi penghiburan versi Tina?

Bagaimana mungkin Tina yang biasanya tampil modis dengan baju-baju branded justru harus memakai seragam. Tidak! Memangnya apa motivasinya melakukan itu?

Nggak habis pikir!

"Tina, Tante titip Ita sebentar ya?" pinta Ria.

"Oh iya Tan, emh... memang Tante mau kemana?" tanya Tina.

"Mau pulang sebentar ngambil baju."

"Oke Tante."

Setelah Ria pergi Tina menatap lekat sahabatnya. Sambil berkacak pinggang dan raut sebal. "Lo tuh dibilangin nggak usah kebanyakan makan saos! Ngeyel banget ih! Sakit kan jadinya! Mana timing-nya pas banget waktu ujian. Nggak bisa dapet kunci jawaban kan lo!" oceh Tina yang jelas-jelas tidak dimengerti Ita.

"Lo ngomong apa sih Tin? Ujian apa sih?"

"Ujian nasional lah. Yang diangkat kan usus buntu lo kenapa yang ilang justru ingatan lo?" ketus Tina.

"Hahaha, serius! Lo ngapain kesini pakai seragam? Kehabisan baju branded?"

Tina mengernyit heran. "Baju branded apaan? Emang gue punya? Lagian tuh setelah Tante Ria bilang lo udah boleh dijenguk, habis UN gue langsung ke sini. Mana sempet ganti baju biasa."

Tunggu! Kenapa pembicaraan ini tidak nyambung? Dan ada yang aneh dari Tina. Ita tau, Tina serius mengatakan semuanya. Tapi, ini tidak masuk akal! Ada banyak poin yang membuat pembicaraan ini tidak sejalan.

Pertama usus buntu? Bukankah Ita sedang menjalani perawatan sehabis kecelakaan? Lalu ujian nasional? Memangnya untuk apa Tina melakukan ujian nasional lagi?

"Ta....?"

"Ita!"

"Ha?"

"Lo liat apa sih?" tanyanya sembari menoleh ke sudut Ita menatap. "L-lo nggak liat i-itu kan?" lanjutnya kini terlihat takut.

"Apa?"

"Malaikat maut, katanya orang yang hampir mati bakal dijagain sama malaikat maut."

Gini nih rasanya punya teman durjana! Baru aja singgungan sama maut. Malah pake tanya begitu segala.

"Nggak sekalian tanya gimana rupa malaikat maut?!" ketus Ita.

"Ha? Emang lo beneran ketemu malaikat maut selama lo tidur?"

Sabar!

"Ya nggak lah. Gue belum mau mati. Kasian anak-anak gue," celetuk Ita.

"Anak? Mph... hahahaha, anak siapa yang lo maksud? Anak masa depan? Ya elah Ta lulus aja dulu baru mikirin kawin. Gini nih sering digombalin Hesa. Jadi halu kan lo," tawanya masih terpingkal.

Sedangkan Ita dibuat bingung. Bagaimana bisa Tina menyebutkan dengan enteng nama seseorang yang sudah meninggal. Tina bukan tipe teman yang mempermainkan kematian seseorang untuk lelucon.

Hesa, jika orang itu masih ada mungkin dia tidak akan membiarkan Ita menangis. Tapi sayang, waktu tidak bisa diputar dan ia harus ikhlas menerima.

"Ihh kok muka lo jadi sedih. Maaf... maaf Ta. Emh, iya deh iya. Halu lah sesuka lo. Halu yang panjang sampe lo punya anak sama Hesa nggak apa-apa. Jangan pasang muka sedih lagi ya? Gue bisa kena oceh.....bla bla bla"

Ita tersenyum, sifat cerewet Tina memang yang membuatnya jadi Tina. Tapi, kenapa dia terus menyebut orang yang sudah meninggal? Lalu detik berikutnya Ita mendapat jawaban mutlak.

"Cewek gua lo apain?"

DEG!

Suara ini, nada rendah ini, aroma ini. Boleh kah Ita berharap bertemu sekali lagi dengan dia? Walau ini mimpi pun tak masalah. Ita ingin minta maaf kepada orang itu. Maaf karena tidak menepati janji untuk konfoi bersama di hari kelulusan.

Ita memberanikan diri menoleh ke sumber suara. Seketika matanya membulat sempurna. Mulutnya dicekal hingga berat mengutarakan satu nama.

"Ma-mahesa?"

"Hm?

"Hesaa...."

"Iya?"

"Mahesa...." satu bulir air mata luruh. "Mahesaa.... huhuuhuu. Hesa.... aku nggak akan nyesel kalau ini mimpi.... makasih. Makasih udah datang...."

Tina dan Hesa saling menatap. Bingung dengan perkataan dan respon Ita yang menurutnya aneh.

"Udah, udah. Iya sayang nggak apa-apa," sahut Hesa sembari memeluk dan mengusap punggung Ita.

"Ini bukan mimpi sayang. Ini aku, coba kamu lihat baik-baik," lanjutnya setelah Ita sedikit tenang. Ia mengarahkan wajah Ita untuk menatap matanya.

Tangan Ita meraba pipi Hesa. Membuktikan dunia khayalnya.

"Iya kan?" sahut Hesa kemudian.

Jantung Ita berdetak tidak karuan. Matanya kembali membola selaras dengan genangan air mata luruh kembali.

Ini nyata!

Hesa hidup!

"B-bagaimana bisa...."

"Kamu pasti mimpi buruk waktu dibius ya?"

Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban. Sekilas pikirannya menuju pada praduga mustahil jika mengingat logika dunia. Mungkinkah hal ini terjadi di dunia nyata?







Vote & komen ya gengs
Lopee youu

AFTER ENDING (TERSEDIA EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang