32. Luka Hati

49 11 6
                                    

"Konsekuensi daripada jatuh cinta adalah luka, lalu kalau sudah tahu, mengapa menangis?"

-

Kalau saja tuhan tidak menciptakan rasa sakit, mungkin saja Nata tidak akan semenderita ini sekarang, tubuhnya sakit, mengapa harus hatinya juga? Ibunya tidak ada sudah sangat menyakiti hatinya, persahabatannya hancur, kekasihnya meninggal, kenapa Nata hidup dengan banyak kehilangan? Sekarang Kafa, teman baiknya itu juga sudah tak ada lagi dihadapan.

Nata merenung, meremas jemarinya sembari mengungkapkan sedikit penyesalan atas apa yang ia katakan pada Kafa saat itu, seharusnya dia menjaga yang masih di sisinya, bukannya malah menjauhkannya, tapi dipikiran Nata saat itu adalah Kinan.

Nata memandangi sandwichnya tanpa menyentuh makanan yang sudah ia gigit satu gigitan itu, sandwich itu adalah dirinya, tidak utuh. Akhir-akhir ini Nata menjadi sedikit melankolis, ia malas mengobrol bahkan dengan Keira.

Namun kali ini, Nata menarik kurva di wajahnya, tersenyum tipis, menyenyumi masalahnya, sampai siluet pemuda muncul, dilihatnya wajah pemuda yang penuh dengan senyum itu, ia meminta izin duduk di sebelahnya, untuk mengembalikan buku yang pernah dipinjamnya beberapa bulan lalu.

"Nat, maaf. "

Nata terpaku, permintaan maaf itu tak mampu menembus hatinya, justru malah menyakitinya, mengingat setelah semua yang terjadi, membuat Nata tak mampu dengan hanya sekedar mengatakan 'iya' pada pemuda itu.

"Untuk apa?" Nata beralih memandangi pemuda berasma Saka itu.

"Pertama, gue mau bilang makasih dulu, karena udah jadi temen baik gue, kedua minta maaf atas semua yang udah terjadi, gue sembunyiin kalau, gue sama Kinan—" Saka tak bisa melanjutkannya, Nata juga pasti paham jadi ia langsung ke poin ke tiga.

"Ketiga, maaf kalau selama temenan ada beberapa hal yang gue lakuin—"

"Dengan terpaksa? Iyakan?" Ucapan itu keluar dari bibir Nata, yang kini dihiasi senyum.

Nata tertawa sarkas, lalu bangkit berdiri begitu saja, tapi Saka tetap menahan gadis itu, memegang lengannya dengan harapan gadis itu akan memaafkan dirinya.

"Nata." Tanpa menjawab Nata menepis tangan Saka, memberinya tatapan yang amat terluka, dan pergi pergi saja.

Sebenarnya, sedari tadi seseorang menyaksikan peristiwa itu di belakang mereka, pemuda jangkung dengan rambut yang mulai panjang itu datang menghampiri Saka.

Kafa duduk di sebelah Saka dengan wajah yang tak sedap dipandang, Kafa tau mereka teman, tapi jika sudah menyangkut Nata, Kafa rasa mereka memang ditakdirkan bermusuhan.

"Yang buat Nata terluka segitu dalamnya itu, bukan karena lo yang cuek dan seenaknya sama dia, tapi karena semua yang lo buat kemarin itu, palsu." Saka diam, ia merasa kesal dengan ucapan Kafa, tapi tak menampik jika itu salah.

"Biarin Nata sendiri dulu, lo bisa minta maaf lagi lain kali." Kini pandangan Kafa terarah pada Kinan yang baru saja datang.

"Saka, ayo pulang, kelas gue udah selesai." Kinan menggamit lengan Saka, diikuti Saka yang berdiri sembari mengikuti arah jalan Kinan.

Kafa menghela napas, Kinan seperti berubah 360 derajat, setahunya gadis itu ramah, lembut dan juga sangat baik, tapi sekarang, dia seperti tiba-tiba menjadi tokoh antagonis di sebuah cerita Novel.

LABIRINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang