20. Taruhan

23.3K 1.1K 7
                                    

"Jadi, anak kecil yang elo tolongin waktu itu, dia adiknya Bimo?" Tanya Lena membuat Zia mengangguk.

Lena melipat tangannya di depan dada, punggungnya ia sandarkan pada kursi. "Cuman itu?"

Zia melirik kanan kiri bingung. "Apanya?"

Lena berdecak, menyugar rambut panjangnya. "Hal yang mau lo bicarain! Sepenting apa sampai bawa pacar lo segala??"

Zia meringis, memperlihatkan deret gigi putihnya, netranya melirik kecil pada Haidar yang duduk tenang di sampingnya, mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans. Membaca buku dengan cover warna putih.

Zia memang sengaja mengundang Haidar, karena Haidar sepertinya tahu sesuatu tentang keluarga Bimo. Untung Haidar tidak keras seperti biasanya hari ini. Ia nurut, Zia ajak pergi ke Cafe untuk mengobrol dengan Lena.

Zia jadi berdehem pelan, mulai serius. "Gue cuman kepikiran sama Alea. Gue tahu, Ibunya main tangan. Waktu gue nolongin dia, gue belum lega sama sekali ninggalin Alea waktu Haidar ngajak gue pulang."

Lena menarik alisnya, melirik kecil pada Haidar.

"Gue mencoba berpikiran positif, mungkin kalau ada Ayahnya, Ibunya gak akan main tangan. Tapi, pikiran gue kacau waktu tahu kalau Bimo itu Kakaknya." Lanjut Zia cemas, tangannya mengacak rambut pendeknya. "Lo tahu, kan? Kelakuan Bimo sama cewek?" Tanya Zia menatap lurus Lena membuatnya mengangguk.

Zia menggigit bibirnya, "Gue cuman takut, aja. Khawatir tentang perlakuan Bimo ke Alea."

Lena mengernyit lalu meluruskan punggungnya. "Bentar! Kenapa elo harus sepeduli itu sama Alea?"

"Lo gila? Gimana gue gak peduli, kalau anak sekecil itu tinggal sama maniak kayak Ibu dan Kakaknya!"

"Gak mungkin kekerasan sama anak gak tercium baunya. Gimana kalau laporin sama bokapnya Bimo, aja? Mungkin dia satu-satunya orang di keluarga itu yang...." Lena membentuk jarinya menjadi huruf V, "Waras."

Haidar mendengus kecil, ia menutup bukunya, tangannya dilipat di depan dada. "Om Kalang, bokap Bimo tutup mata."

Zia mengangguk merespon. "Kata Haidar, bokapnya udah buka kedok istrinya waktu mau mukul Alea. Tapi, Om Kalang kayak yang gak percaya."

Dahi Lena bergemlombang. "Jadi, sekarang lo mau ngapain?"

Zia menghembuskan napas. "Gue... Mau ngomong berdua sama Bimo."

"Wtf?"

Lena maupun Haidar sontak menoleh ke arah Zia.

"Gue mau tanya keadaan Alea. Dan juga, mungkin keadaan keluarganya. Gue bukan peduli sama Bimo tapi sama Alea."

Lena mendengus. "Emang lo yakin, Bimo bisa diajak ngobrol? Kemarin aja, dia hampir mukul elo!! Dan sekarang lo mau ngobrol berdua?!?!"

"Lo nyerahin diri ke kandang singa!"

Zia meringis, namun mengangguk yakin. "Gue gak akan beneran sendiri, kok! Kan, kalian nemenin juga."

"Gue?" Ujar Lena dan Haidar bersamaan membuat Zia tersenyum ceria lalu mengangguk semangat.

"Ogah!" Ujar keduanya bersamaan.

"Kompak banget, sih." Gerutu Zia pelan, tangannya terjulur meminum jus Alpukat yang ia pesan sampai habis.

"Lagian, lo kenapa beneran sepeduli itu sama anak kecil itu, sih?" Tanya Lena, "Jangan ngomongin rasa kemanusiaan. Gue cuman mau denger alasan elo sebenarnya!"

Netra Zia meredup, ia meremas tangannya lalu menarik senyum seperti biasa. "Masa kecil itu harus dinikmati sebisa mungkin dengan indah, karena itu akan keinget waktu kita remaja."

H&Z [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang