57. Definisi Sahabat

6.5K 537 35
                                    

Asap mengepul keluar dari bibir, mengotori polusi udara, membekas berlatar langit biru sebelum berhembus terbawa angin bersamaan dengan deru kendaraan lewat. Sebelah tangannya dipakai menyangga ke pembatas besi jembatan dengan sebelah tangan mengapit batang rokok.

Langit biru berawan memantul di netranya sebelum mengerjap dan menghisap sepuntung rokok itu dalam-dalam.

Si gadis berambut pendek sebahu itu jadi menoleh sebelum mengerjap sendu dengan kepala pening.

Hidupnya hancur.

Rokok adalah pelampiasannya.

Menerima kenyataan yang tidak sesuai keinginan jauh lebih sulit daripada yang terucap di video-video sialan berjudul motivasi berkedok omong kosong.

Saat kenyataan tidak sesuai apa yang Zia inginkan, rasanya frustasi dan jauh lebih sakit.

'Menerima' adalah kata yang sulit diterapkan dalam hidupnya sekarang.

Berbagai pertanyaan itu terus berseru di otaknya meskipun berakhir tanpa jawaban.

Kenapa hanya Zia yang bernasib seperti ini?

Kenapa Zia harus menanggung semua beban orang tuanya yang tidak mampu menafkahi keluarga?

Zia tahu dia egois, tapi anak mana yang tidak ingin menggapai cita-cita?

Anak mana yang tidak ingin kuliah?

Pertanyaan seperti itu terus menerus menggerogoti hatinya, menjurus pada satu pertanyaan yaitu,

Apa dia dilahirkan hanya untuk sekedar menderita?

Kenapa dia dilahirkan kalau begitu?

Sekali lagi, Hidup Zia hancur.

Orang yang paling di sayangi, entah itu keluarga maupun pacar adalah orang-orang yang berpotensi dan punya kekuatan untuk membuatnya terluka.

"Orang-orang tersayang apanya? Persetan." Umpat Zia sebelum kembali menghisap batang nikotin sebelum membuang dan menginjaknya sampai padam.

Memangnya dia masih punya salah satunya?

H&Z

"Lo kenapa?"

Yang ditanya hanya termenung, tidak menyadari sedari tadi ada sepasang netra yang terus memperhatikannya lekat dan khawatir.

"Haidar?"

Lelaki pemilik paras tampan itu tersentak pelan, menoleh pada Rizal yang duduk di sofa dengan tangan memeluk toples camilan, mengabaikan televisi menyala dan lebih memilih menatap Haidar penuh tanya.

Haidar yang duduk di kursi rotan sebelah pintu balkon jadi menggeleng, menaikan sebelah kakinya sebelum menyandarkan punggungnya pada punggung kursi.

"Gapapa."

"Kalau gapapa ngapain ke rumah gue?" Tanya Rizal lagi, masih memakan keripik kentangnya dengan lahap.

Sekali lagi Haidar termenung, poni depannya terhembus angin yang menyelinap dari pintu balkon yang terbuka, langit biru berawan memantul bening di netranya.

Tanpa Haidar dan Zia tahu, meskipun mereka berada jauh ribuan kilometer, entah itu jarak ataupun hati mereka, namun mereka tetap berbagi langit yang sama.

Rizal jadi mendesah kasar sebelum mematikan televisi. "Kalau lo gak cerita, gue gak ngerti, Haidar Lewis Abraham. Gue juga gak bisa nyimpulin cuman dari raut wajah lo, gue bukan cenayang, gila aja!"

Sudah didesak seperti itu pun, Haidar masih enggan berbicara banyak. Tujuannya datang ke rumah Rizal adalah untuk melarikan diri dari keluarganya.

Banyak hal yang ingin dia bicarakan, ada puluhan paragraf yang tersusun di kepala namun tidak ada satupun yang terlontar di bibir.

H&Z [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang