4. Haidar dan sifat dinginnya

49.3K 2.2K 8
                                    


Netra Zia mengerjap, jantungnya mendadak berdebar mencium wangi parfum yang terasa tidak asing. Kepalanya mendongkak, helaan napas lega tanpa sadar keluar dari bibir Zia.

Netranya berbinar bening, senyum nya ditarik perlahan.

"Haidar?"

Netra Haidar melirik Zia, cowok tinggi berkaos hitam, dengan headphone yang bertengger di lehernya itu menempelkan telunjuk ke bibirnya, menyuruh untuk diam.

Zia melipat bibirnya, jaga-jaga agar tidak bersuara. Beberapa menit terlewatkan depan posisi keduanya yang belum berubah, akhirnya Haidar menjauhkan badannya membuat Zia bernapas lega.

"Kok Lo bisa ada di ruangan ini? Perasaan tadi waktu gue ngintip, ruangannya kosong." Tanya Zia.

Namun yang ditanya tidak menjawab, Haidar memasukan kedua tangan ke saku celana, tangannya terjulur menyentuh lengan Zia, mendorongnya pelan agar menyingkir dari pintu karena dia mau lewat.

Zia menipiskan bibir, Haidar benar- benar dingin tidak tersentuh.

"Ck, gimana hidup dia setelah pisah sama gue, sih? Kok sikapnya jadi dingin gitu?! Perasaan dulu ceria banget." Gumam Zia heran, bayangan masa lalu saat Haidar kecil tertawa sambil membawa permen kepadanya masih terlihat jernih seperti kualitas video 1080p.

Zia melengos pelan, bergerak cepat untuk menyusul Haidar.

"Haidar, gimana kabar lo? Udah lama ya, kita gak saling sapa." Ujar Zia setelah berada di samping Haidar, bersampingan menuruni tangga.

Tidak ada jawaban.

"Gue lihat sekarang lo sering baca buku. Buku favorit elo apa? Gue juga suka baca loh. Buku favorit gue itu novel. Gue juga baca buku non-fiksi ju--." Ucapan Zia terhenti, melirik Haidar yang tidak mengindahkannya.

"Ah... Lo baru selesai futsal? Gue sering lihat lo futsal. Sejak kapan Lo suka sama futsal? Maksudnya dari kapan? Gue juga suka liat futsal---,"

Ucapan Zia kembali terhenti saat Haidar menggetok kepalanya dengan pinggir telapak tangan.

Haidar berdecak. "Berisik. Sakit kepala gue."

Zia mengerjap saat Haidar kembali menuruni tangga.

Barusan Haidar mengangkat tangannya ke arah Zia, kan? Saat akan menggetok kepala Zia?

Tapi kenapa Zia biasa saja? Kenapa dia tidak takut seperti biasa?

Zia jadi menggigit bibir dalamnya, kembali mengikuti Haidar yang sudah sampai tangga terakhir.

Entah kenapa, ada rasa tidak ingin melepaskan Haidar begitu saja saat ini. Mereka tidak dekat setelah keduanya masuk SMP karena beda sekolah. Keduanya punya teman masing-masing dan punya kesibukan sendiri.

Dan lagi, Zia hanya merasa Haidar selalu terlihat berwajah datar di matanya, dan juga dingin. Waktu itu, Zia tidak peduli karena mereka hanya sebatas teman main saat di sekolah dasar, dan Zia sudah punya teman lain sekarang.

Namun, saat ini tidak ada perasaan seperti itu. Rasanya ingin kembali akrab dengan Haidar seperti dulu, dan mengetahui nya lebih jauh.

Karena Zia penasaran dengan sosok Haidar yang sekarang.

Zia jadi segera mendekat ke sebelah Haidar setelah sampai koridor, ia memutar otak, memikirkan topik apa yang bisa membuat Haidar membuka mulut.

"Ayam geprek kemarin enak?"

Sontak Haidar berhenti melangkah, menoleh, menghadap Zia sepenuhnya dengan tampang datar namun alisnya terangkat.

Yang ditatap hanya tersenyum ceria seperti biasa menunggu jawaban. Tiba-tiba kejadian Kak Eva yang membelikan Haidar ayam geprek kemarin terlintas di benaknya.

H&Z [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang