| 19. Permintaan

4.6K 356 4
                                        

Ini pertama kalinya Azzam dan Aisyah masuk ke dalam rumah Zahra, tadi saat mereka mengantar gadis itu pulang, keduanya diminta untuk mampir terlebih dahulu. Awalnya Azzam tidak mau karena sudah terlalu malam, tapi karena Aisyah memaksanya Azzam jadi tidak bisa menolak.

"Silahkan duduk Zam, Sya.." Zahra mempersilahkan keduanya untuk duduk di ruang tamu.

"Aku bikinin minum bentar ya.."

"Eh nggak usah Kak! Kita obatin luka Kakak aja, soalnya udah malem juga."

"Eung, gitu ya.."

"Non Zahra sudah pulang?" Bi Ani keluar dari arah belakang, senyumnya seketika luntur saat Zahra berbalik dan memperlihatkan luka di keningnya.

"Loh ini kenapa toh Non?"

"Tadi jatoh Bi, tapi nggak papa kok."

"Tolong ambilin kotak P3K ya.."

"Baik Non."

Bi Ani kembali masuk ke dalam sedangkan Zahra memilih duduk di sebelah Aisyah.

Aisyah akui rumah Zahra benar-benar besar dan bagus, interiornya terlihat sangat mahal dengan nilai seni yang tinggi.

"Orang tua Kak Zahra kemana?" tanya Aisyah yang merasa heran karena rumah ini terasa begitu sepi.

Zahra tersenyum kecil, "Mereka udah meninggal.." jawaban Zahra berhasil membuat Aisyah terkesiap, begitu pun dengan Azzam yang baru mengetahui hal ini.

"M-maaf Kak aku nggak tau.."

"Nggak papa.." ketiganya terdiam tidak tau harus memulai obrolan darimana lagi. Beruntung kedatangan Bi Ani membuat suasana canggung itu kembali mencair.

Aisyah membasuh luka Zahra menggunakan air terlebih dahulu, kemudian membubuhkan obat merah dan menutupnya dengan kain kasa dan plester.

"Aisyah.." Aisyah yang sedang menata kembali obat dalam kotak P3K menoleh.

"Iya?"

"Tolong jangan ambil Azzam dari aku.." kening Aisyah mengernyit, dia tidak paham dengan ucapan Zahra.

"Maksudnya?"

"Aku udah nggak punya siapapun lagi Sya, cuma Azzam yang aku mau. Dan dia nggak akan nglirik aku selagi masih ada kamu di sekitar dia."

"Tolong, aku mohon Aisyah. Jangan ambil Azzam.." Zahra sampai bersimpuh di kaki Aisyah, gadis itu menangis.

Jika kalian bertanya dimana Azzam sekarang, maka jawabannya sedang ada di kamar mandi.

"Bangun Kak, nggak perlu sampe kayak gini.." Aisyah membantu Zahra untuk kembali duduk di sofa.

"Aku nggak pernah ngambil apapun dari hidup Kakak. Aku sama Mas Azzam udah temenan dari kita kecil, dan itu nggak akan berubah sampai kapan pun. Kalo Kakak beneran suka sama Mas Azzam, itu tugas Kakak buat bikin Mas Azzam membalas perasaan itu."

"Tapi Azzam suka kamu Aisyah, dan aku nggak akan punya kesempatan untuk ngambil hati Azzam selagi kamu masih ada."

"Jadi maksud Kakak aku harus mati?" Zahra menggeleng, air matanya semakin deras membasahi pipi.

"Aku cuma pengen kamu jaga jarak sama Azzam, aku mohon Sya.."

"Nggak semua yang Kakak pengen bisa Kakak dapetin, dunia nggak cuma tentang kamu aja. Jangan cuma mau dimengerti tapi Kakak sendiri nggak mau ngertiin orang lain."

"Apa si yang kurang dari hidup kamu Aisyah? Kamu banyak yang suka, keluarga kamu bahagia, kamu dikelilingi sama orang-orang yang sayang sama kamu. Apalagi yang kurang?!" Aisyah terkejut saat nada bicara Zahra meninggi.

"Sedangkan aku? Aku hidup sendiri Sya, aku nggak pernah ngrasain kasih sayang orang tua. Aku nggak tau harus bersandar ke siapa lagi, hiks.."

"Kakak cuma liat luarnya aku, Kakak nggak tau apa aja yang udah aku lalui. Jangan merasa paling tersakiti."

"Aku emang tersakiti Aisyah, kenapa kamu begitu tamak mau milikin semuanya?"

"Zahra!!" Azzam datang dengan emosi meluap, dia melihat dan mendengar semuanya.

"Aku nggak suka sama kamu bukan karna Aisyah.."

"Terus kenapa Zam? Kenapa kamu nggak pernah peka sama kehadiran aku? Aku suka sama kamu.."

"Cinta nggak bisa dipaksa Zahra, tolong ngerti. Kamu pasti bisa dapetin laki-laki yang jauh lebih baik dari aku.." Zahra menggeleng kuat, emosinya semakin tidak stabil.

"Aku nggak mau orang lain, aku cuma mau kamu Azzam.."

"Aku nggak bisa, maaf.."

"Ayo Sya.." Azzam meraih tangan Aisyah kemudian membawa gadis itu pergi, tidak peduli bagaimana tangisan Zahra terdengar meraung. Azzam rasa ucapannya sudah cukup jelas untuk menjawab semua pertanyaan Zahra.

Suasana di dalam mobil terasa begitu canggung, Aisyah masih enggan membuka suara dan lebih memilih memandang jalanan dari jendela. Begitu juga dengan Azzam, cowok itu merasa sangat bersalah pada Aisyah.

Pikiran Aisyah melayang pada perkataan Zahra yang bilang jika Azzam menyukainya, padahal selama ini Azzam tidak pernah terang terangan menyatakan itu.

Apa yang Zahra ucapkan benar?

Jika benar, sejak kapan Azzam mulai menyukainya? Sedangkan sejak dulu Aisyah hanya menganggap Azzam sebagai sahabat juga seorang Kakak. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Aisyah untuk menaruh rasa pada cowok itu.

"Sya.."

"Mas minta maaf.."

Aisyah masih diam, dia tidak ingin Azzam menyukainya. Karena itu akan membuat hubungan erat mereka menjadi beresiko. Jika sudah berurusan dengan cinta, hubungan sedekat apapun bisa saja hancur. Dan Aisyah tidak ingin itu terjadi.

"Bener Mas Azzam suka sama Aisyah?" tanya Aisyah, Azzam menghela nafas sejenak. Kepalanya tertunduk beberapa saat seakan sedang memikirkan jawaban yang tepat.

"Jawab Mas!"

"Iya, iya Aisyah. Mas suka sama kamu, tapi Mas nggak akan ngajak kamu pacaran. Mas akan berusaha untuk bisa menjadi laki-laki mapan sebelum memutuskan untuk meminang kamu nanti."

"Sejak kapan?"

"Apanya?"

"Sejak kapan Mas Azzam suka sama aku?"

"Sejak bertahun-tahun yang lalu.."

"Tapi kenapa Mas? Kenapa harus aku? Aku nggak pernah ada rasa apapun sama Mas Azzam.." Azzam mengangguk seraya tersenyum kecil.

"Mas tau, dan itu tugas Mas buat bikin kamu membalas perasaan itu.." ucapan Azzam mengingatkan Aisyah dengan perkataan yang tadi dia lontarkan pada Zahra.

"Udah sampe, sana masuk," keduanya saling memandang, ada gurat kekecewaan di wajah Aisyah. Gadis itu memilih turun kemudian pulang ke rumahnya tanpa berpamitan.




To be continued

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang