03 - Nasihat

3.3K 501 15
                                    

Renita yang sedang duduk di ruang kerjanya mendongak ketika ia mendengar suara ketukan dari pintu. Setelah Renita mempersilahkan masuk, Kara membuka pintu cepat lalu berjalan ke arah Renita sambil mengomel di telepon. Renita sebenarnya tidak banyak berekspektasi saat menawari Kara pekerjaan sebagai sekretarisnya, tetapi di luar dugaan, gadis itu cepat belajar dan kini sudah bisa mengurus berbagai jadwal dan kegiatan Renita sebaik dayang pendamping Keraton. Seperti kemampuan orang genius memang berbeda.

Ia berdiri di depan meja Renita masih mengoceh cepat di telepon, setelah dia mengakhiri teleponnya, Kara memberi salam singkat pada Renita lalu menyodorkan dokumen di tangannya pada Renita.

"Kamu bekerja lebih baik daripada Ana." Puji Renita sambil membuka dokumen dari Kara.

Gadis itu menaikkan pundak ringan lalu menarik kursi untuk duduk di depan Renita, "Mbak Ana lebih mahir mengatur keperluan rumah tangga. Jadi yah, bidang kami berbeda."

Kara duduk sambil menekan-nekan keningnya, sudah sebulan lebih dia tinggal di Keraton untuk bekerja sebagai sekretaris Renita. Sejauh ini Renita terkesan dengan hasil pekerjaan Kara.

"Kenapa, ada masalah?" Tanya Renita pada Kara. Gadis itu mengacak rambutnya lalu menatap ke arah Renita, "Kamu bahkan belum menjadi Putri Mahkota, tapi pekerjaanmu sudah sebanyak ini?! Kalau di perusahaan swasta ini kamu sudah level nasional manager sih ...."

Renita tersenyum mendengar itu. "Sebulan pertama aku juga gila sepertimu, tapi berkat Mbak Ana aku bisa menghadapi tugas-tugasku."

"Setidaknya ada sisi baik dari melakukan tugas ini selain mendapat gaji." Gumam Kara.

"Maksudmu, kamu bisa sejenak melupakan Raga? Begitu?" Sergah Renita. Kara tertawa sarkas tapi tidak menjawab ataupun menepis ucapan Renita. Ekspresi Kara berubah menjadi muram. Ia menarik ponselnya lalu menunjukkan histori pesannya pada Raga. Renita meringis melihat itu. Kara sama sekali tidak mendapat balasan dari Raga sejak kepulangan mereka pasca seleksi. Kara bahkan hanya mengirim satu pesan tiap hari, membuat Renita menggeleng pelan. Ia merasa prihatin pada Kara.

"Memangnya bagaimana status hubungan kalian kemarin?"

"Aku, belum yakin bisa menjalin hubungan dengan Raga, jadi kami belum memulai hubungan apapun setelah makan malam."

"Apa yang membuatmu ragu?" Tanya Renita sambil menaruh dokumen yang dibacanya.

"Yah, aku adalah orang yang ingin hidup tenang karena tidak mau menanggung tanggung jawab menjadi putri mahkota. Jadi menurutmu bagaimana reaksiku saat tahu kalau ternyata Raga juga bagian dari keluarga Keraton?"

Renita mengembalikan ponsel Kara, "Privilege come with responsibility. Kemanapun kamu pergi, pasti akan ada tanggung jawabnya. Sekalipun kamu tidak bersama Raga, jika kamu memilih berkarir, pasti lambat laun akan ada tanggung jawab yang semakin besar seiring dengan naiknya karirmu. Jadi menurutku kekhawatiranmu hanya karena kamu belum tahu saja tanggung jawab apa yang harus kamu hadapi."

Kara diam mendengarkan. "Hah, benar juga."

"Sepertinya kamu perlu untuk memutuskan apa yang kamu inginkan dalam hidup. Jika kamu tidak tahu apa yang ingin kamu lakukan, carilah hal yang tidak ingin kamu lakukan. Dari sana setidaknya akan membentuk hidupmu." Tambah Renita.

"Setidaknya pikirkan saja, apa yang terjadi jika kamu tidak menerima Raga. Mungkin itu bisa jadi bahan pertimbangan utama untukmu." Kara menganggukkan kepala mendengar ucapan Renita.

"Terima kasih atas nasihatnya. Aku butuh itu." Ucap Kara. Renita lalu membuka pembicaraan, "Omong-omong soal nasihat, apa kamu bisa memberitahuku bagaimana caranya mendapatkan hati mas Dita?"

Kara jelas terlihat terkejut mendengar itu. "Sepertinya aku melihat kalian mesra-mesra saja, memangnya mas Dita kenapa?"

Renita terlihat ragu, menceritakan masalah pribadi apalagi yang berhubungan dengan percintaannya adalah hal yang tidak disukai oleh Renita. Tapi, saat ia melihat ke arah Kara, rasanya Renita punya teman yang memiliki masalah yang sama walaupun tidak serupa.

"Mungkin kami terlihat dekat, tapi sebenarnya hubungan kami seperti teman kerja profesional saja." Jelas Renita.

Kara menggelengkan kepala pelan, "Bukannya kamu suka mas Dita?"

Renita mengangguk. "Iya ..."

"Cobalah untuk memperlakukannya sebagai seorang Dita bukan Pangeran bukan juga orang yang kamu dapatkan karena seleksi." Ucap Kara.

Renita merasa tertusuk mendengar ucapan Kara. "Memangnya aku memperlakukan mas Dita seperti itu ya?"

Kara tersenyum, "Sorry to say, tapi mas Dita pernah cerita dia sebenarnya tidak mau dijadikan 'hadiah' dari sebuah seleksi. Dan meskipun kamu memang menang seleksi ini, kamu harus berusaha untuk memenangkan hatinya."

Renita mengangguk. "Ah, sepertinya aku baru menyadari kesalahanku."

"Kamu harus mulai mendekati mas Dita dengan hati ... dan tahu kan mencari titik tengah antara hubungan kalian. Atau mungkin titik temu. Karena Nagaragung pasti akan menantikan berita keturunan setelah kalian menikah." Lanjut Kara sambil menunjukkan senyuman penuh arti.

Renita mendengus tertawa mendengar itu lalu mengangguk. "Ah, kami punya kewajiban untuk menghasilkan keturunan ya ..."

"Tidak perlu deg-deg an gitu ... aku tahu kamu bisa melakukannya ..." Ujar Kara dengan nada canggung. Renita hanya menggelengkan kepala.

"Oh iya, aku perlu memberitahumu suatu hal ..." Renita mengamati situasi ruangan lalu mendekatkan kepalanya pada Kara.

"Aku mendapat informasi bahwa, mereka akan datang ke pesta pernikahanku." Bisik Renita.

Kara mengeryitkan mata, "Maksudmu mereka itu ...." Kara terlihat berpikir hingga dia menyadari siapa yang dimaksud Renita. "Mereka yang ada dalam cerita dari Mas Dita itu?"

Renita menganggukkan kepala dengan cepat. "Lalu kabar baiknya lagi, jika mereka datang, kemungkinan besar Raga juga akan datang. Karena Raga sedang menjalani hukuman."

Meskipun Kara tidak mau berharap, ucapan Renita cukup untuk menaikkan harapan Kara. Ia tidak sabar ingin bertemu dengan Raga dan mencium lelaki itu ketika mereka bertemu. Ponsel Kara bergetar membuat Renita mengalihkan perhatiannya pada ponsel Kara yang tergeletak di atas meja. "Raga ini panjang umur sekali. Baru saja kita membicarakannya dan lihat ada pesan masuk darinya." Celetuk Renita sambil kembali menyandarkan diri di kursi.

Kara seketika meraih ponselnya lalu membuka pesan dari Raga. Ia tidak tahu bagaimana harus merespon pesan itu, karena jawaban Raga hanyalah, "Aku juga rindu padamu. Kita akan bertemu di pesta pernikahan kakak. Tunggu aku sebentar lagi."

Kara terlihat langsung membalas pesan, tetapi Raga sekali lagi sudah tidak merespon. Kara melempar ponselnya ke meja membuat Renita menaikkan kedua alisnya. "Kenapa?"

Kara membacakan pesan dari Raga untuk Renita. "Sungguh jawaban singkat, padat dan jelas ya ... setidaknya dia mengakui kalau dia rindu padamu." Imbuh Renita pelan.

"Apa pernikahanmu tidak bisa dipercepat lagi?" Keluh Kara.

Renita mau tidak mau tertawa mendengar itu. "Ngawur ae! pernikahan ini sudah direncanakan empat bulan setelah seleksi berakhir, itu sudah sangat cepat tahu! mana bisa dipercepat lagi. Banyak orang yang bekerja lembur dibalik persiapan pernikahan ini!" Omel Renita pada Kara.

Gadis itu lalu menghembuskan napas, "Hah, aku sudah tidak sabar ingin bertemu Raga lagi."

Renita menepuk pelan tangan Kara, "Kamu bisa kok, tinggal dua bulan lagi sebelum pernikahan. Lagipula, apa kamu sudah menyiapkan bahan pembicaraan dengan Raga? Sepertinya ada banyak hal yang harus kalian bahas bersama."

"Ah, benar juga. Aku harus menyiapkan pembahasan untuk dibahas dengan Raga." Celetuknya. Kara langsung beranjak berdiri sambil mengambil ponselnya.

"Aku pergi dulu, pekerjaanku hari ini sudah selesai, dan kamu tinggal menyelesaikan sisanya. Semangat calon putri mahkota!" Ucap Kara lalu memberi salam pada Renita kemudian berjalan ke luar ruangan.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Siapa kangen Raga?

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang