40 - Promise

2.9K 421 13
                                    

Setidaknya Kara sudah bisa berjalan tegak tanpa bantuan orang lain saat hari pernikahan tiba. Meskipun pernikahannya tidak dirayakan secara megah, tetap saja Kara terkejut dengan persiapan yang dilakukan keraton dalam kurun waktu kurang dari kurang dari empat puluh delapan jam.

Ia mendapat setelan kebaya yang elegan berwarna krem dengan kain jarik berwarna putih. Rambutnya disanggul setengah dengan hiasan bunga melati dan kantil menghiasi kepalanya. Ia senang bertemu dengan Mbok Kinan yang secara khusus dipanggil ke keraton untuk mendadani Kara. Ibu asuh kedua pangeran itu terlihat bahagia saat mengetahui kabar kalau mereka berdua akan menikah.

"Seandainya kamu tahu bagaimana keadaan awal seleksi." Gumam mbok Kinan saat Kara selesai didandani.

"Maksudnya mbok?"

"Raga, meskipun dia memang bukan pewaris takhta, dia tetap punya perkerjaan di luar sana dan jarang pulang. Ayah dan Ibunya bahkan tidak bisa dan tidak tahu cara menyuruh dia pulang. Tapi demi seleksi, satu patah dari kakaknya saja bisa langsung membawanya pulang."

Kara tidak merespon ucapan itu. Ia hanya tersenyum kecil.

"Meskipun pernikahan kalian diadakan mendadak, mbok yakin ini yang ditunggu Raga."

Kara tanpa sadar lebih sering meraba leher kanannya tempat tato kecil muncul di kulitnya. Mbok Kinan tidak banyak berkomentar saat melihat itu. 

"Menurut mbok, apakah Raga anak yang baik?" Tanya Kara penasaran.

Mbok Kinan tidak langsung menjawab pertanyaan itu, "Menurutku dia hampir seperti kebanyakan anak terakhir. Raga selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kadang dalam prosesnya ia bisa saja menyakiti orang lain. tapi Raga bukanlah orang yang jahat." Jelas mbok Kinan.

"Kamu punya waktu sepuluh menit untuk berubah pikiran." Celetuk Ibunya dari pintu kamar Kara saat ia datang untuk menjemput Kara.

Kara menoleh ke arah pintu dan melihat ibunya bersandar di rangka pintu sambil tersenyum. "Jangan salah, ibu sebenarnya masih heran dengan seberapa cepat kalian berdua memutuskan untuk menikah. Tapi, ibu baru tahu kalau Raga sesibuk itu sampai dia tidak pernah pulang atau mengabari keluarga saat pergi. Ibu tidak kaget jika Raga meninggalkanmu tepat setelah pernikahan."

"Ibuuu ahhh, jangan bilang gitu dong." Keluh Kara saat memandang ibunya.

Ibunya menaikkan kedua bahu sambil tersenyum. Ia kemudian berjalan masuk ke ruangan dengan ekspresi senang. Ia kemudian memeluk Kara.

"Sering-sering mampir ke rumah ya ..." tambah ibu Kara.

Mbok Kinan tersenyum pada ibu Kara. Ia kemudian meninggalkan mereka berdua saja. "Pasti kok."

Ibu Kara mendatangi anaknya lalu memeluk anaknya sekilas. "Ibu serius, jika kamu ingin membatalkan semua ini kamu masih punya waktu."

Kara tertawa kecil, "Ibu kenapa sih?"

Ibunya menggelengkan kepala pelan. "Entahlah, mungkin karena ibu tidak pernah merasakan sebuah pernikahan. Ibu mungkin bukan orang yang tepat untuk memberimu wejangan."

Ekspresi ibu Kara menjadi lebih serius. Sedangkan Kara menjadi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya tapi rasanya sedikit tidak nyaman saat ibunya bilang begitu. Kara mendadak sedikit cemas dengan semua ini. Rasa cemas yang tidak ada sebelumnya kini mulai muncul menyelimuti hatinya.

"Aku jadi cemas setelah mendengar ucapan ibu." Gumam Kara jujur.

"Sudah terlambat untuk mencemaskan itu semua. Kini kamu harus menghadapai dan bertanggung jawab dengan pilihanmu. Nasihat kecil, cobalah untuk menunda hamil di dua tahun pertama pernikahan kalian. Gunakan waktu itu untuk mengenal pasanganmu dan tentu saja masa pacaran yang lebih intim. Punya anak akan memberimu berbagai batasan dan tanggung jawab baru. Lagipula kamu masih muda jadi ibu harap kamu bisa menikmati masa mudamu dulu sebelum memikul tanggung jawab sebagai orangtua."

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang