39 - Blessing

2.8K 447 21
                                    

Kara duduk terdiam sambil menggandeng tangan Raga di bawah meja. Raga akhirnya secara resmi meminta restu orangtuanya dan juga pada Ayah dan Ibu Kara yang duduk di sana. Sejujurnya ia tidak terlalu khawatir dengan reaksi Ayahnya, karena keluarga Rajasa secara hukum tidak memiliki andil dalam kehidupan Kara dan ibunya sudah tahu kalau dia menyukai Raga.

Hal yang dikhawatirkan Kara justru dari Gusti Prabu dan Gusti Ratu karena mereka jelas melihat bagaimana sifat Kara selama seleksi dan tentu saja segala konflik internal yang tidak diketahui publik. Meskipun Dita bilang sudah pernah menjelaskan kronologi kejadian dan alasan semua drama proses seleksi, tetap saja Kara tidak merasa tenang. Apalagi pandangan Gusti Ratu terhadapnya cukup membuat Kara teritimidasi.

"Baiklah, kami mengerti. Memangnya kapan kamu mau menikah? Bulan depan sepertinya masih bisa dikejar asal pestanya tidak sebesar kakakmu. Persiapan satu bulan akan cukup." Ujar Gusti Ratu.

Raga menyela, "Saya ingin pernikahan ini dilakukan dalam minggu ini." 

Ucapan itu bahkan membuat Kara menoleh ke arah Raga dengan ekspresi terkejut. Ia kemudian memandang semua orang yang ada di meja dengan ekspresi membela diri, "Saya juga baru tahu kalau Raga ingin menikah dalam minggu ini." Jelas Kara lalu memukul lengan Raga pelan sambil berbisik, "Aku memang setuju menikah tapi tidak secepat ini juga."

Raga tidak menghiraukan ucapan Kara. "Saya tidak perlu pesta besar, kami hanya perlu mempersiapkan acara sumpah pernikahan dan mendaftarkan pernikahan secara resmi. Lalu untuk tamu yang hadir sebisa mungkin hanya keluarga terdekat saja."

Gusti Ratu berdeham, "Tapi nak, meski begitu kamu tetap Pangeran kedua kerajaan, kurang tepat jika tidak ada perayaan apapun."

Raga menggelengkan kepala, "Untuk resepsi pernikahan bisa kita tunda sampai usia dua puluh lima tahun karena saat ini toh saya tidak dikenal oleh publik. Saya juga tidak ingin mengungkap identitas saya karena pernikahan."

Dita memandangi adiknya, lalu bertanya, "Kalau Kara, bagaimana pendapatmu tentang ucapan Raga tadi?" 

"Nah iya, pernikahan ini kan dijalani oleh dua orang jadi kamu juga harus punya pendapat mengenai perayaannya kan?" Tambah Gusti Ratu.

Kara melirik ke arah Raga sekilas. Ia teringat ucapan Raga sebelum mereka bergabung dengan keluarga dan segera paham kenapa Raga begitu tergesa-gesa.

"Alasan Raga sedikit tergesa-gesa karena dia harus pergi segera dan entah kapan akan kembali jika sudah berangkat." Ucap Kara.

Ia mengamati keluarga keraton terutama Dita dan Renita yang paham maksud Kara. Gadis itu bahkan memandang ke arah neneknya untuk meminta dukungan. "Jadi saya tidak keberatan jika acara pernikahan kami diadakan tanpa pesta. Lagipula Raga masih ingin identitasnya disembunyikan dari publik, jadi tidak mengadakan pesta besar menurut saya adalah pilihan yang terbaik. Mungkin pihak keraton cukup mengumumkan kalau pangeran kedua keraton sudah menikah pada publik. Itu saja cukup bagi saya."

Keadaan di meja makan menjadi hening. Kara tidak sengaja bertatapan dengan Adam dan melihat anak itu masih tidak percaya dengan situasi yang dihadapinya. Kara jadi ingat momen ketika Adam tahu Raga adalah pangeran kedua keraton, anak itu jelas-jelas menganga karena kaget sampai-sampai ibunya harus menegur Adam agar menutup mulutnya.

Kara beralih pada ibunya yang duduk di sebelahnya. Ibu Kara meraih tangan Kara yang lain lalu menggenggamnya menenangkan. "Saya setuju dengan pendapat anak-anak. Pesta pernikahan bisa ditunda sampai keduanya punya waktu."

Gusti Ratu dan Gusti Prabu bertukar pandang sekilas sampai akhirnya Gusti Prabu menghelai napas, "Baiklah kami akan menyelenggarakan pernikahan ini sesuai permintaan kalian. Lagipula semua orang di sini sudah tahu bagaimana kondisi kalian saat ini dan yah bahkan saya tidak bisa memaksa anak saya untuk melakukan sesuatu, jadi mari kita diskusikan hal-hal yang penting saja."

Kara sudah mulai melamun. Ia tidak banyak bicara atau menyimak pembicaraan setelah itu. Pikiran dan hatinya penuh fakta bahwa dirinya akan menikah secepat ini. Bahkan saat usianya masih belum dua puluh lima tahun. Perasaan takut, senang, khawatir sekaligus bingung kian bercampur dalam hatinya.

Ia samar-samar mendengar bahwa hari pernikahan ditetapkan lusa dan semua keluarga Kara dipersilahkan untuk menginap di Keraton karena toh acara akan segera dilaksanakan di keraton juga. Mulai hari ini juga Kara akan dipingit dan tidak boleh bertemu dengan Raga. Sehingga setelah makan keluarga ini selesai, ia harus tinggal di kamarnya dan tidak boleh banyak keluar ruangan.

"Saya senang pernikahan ini terlaksana, ikatan pernikahan ini bisa jadi mempererat hubungan keluarga Keraton dan Rajasa." Ujar Gusti Prabu.

Gusti Ratu mengangguk setuju. "Iya, dari awal saya sebenarnya sudah merestui hubungan mereka, tetapi karena banyak kejanggalan saat seleksi saya sempat ragu dengan maksud Kara."

Begitu Gusti Ratu selesai bicara tiba-tiba saja rasa dingin menjalari tubuh Kara merambat dari tangan kanannya lalu menyebar ke seluruh badannya. Semua orang yang ada di sana menyadari sesuatu, bahkan Raga yang duduk di sebelahnya merangkul badan Kara karena khawatir. Rasa dingin itu menjalari seluruh tubuh Kara hingga pada akhirnya berpusat di leher kanan di bawah telinganya. Sebuah tato muncul berbentuk telapak kaki harimau mungil.

Gadis itu tiba-tiba saja menjadi lemah, tetapi Kara masih kuat menjaga kesadarannya. Wajahnya mulai pucat dan kesadarannya semakin menipis. Ibu Sastria segera berdiri lalu menghampiri Kara. Ia langsung mengecek tato yang muncul di leher kanan Kara. Setelah Kara tidak merasakan rasa dingin lagi, Ibu Sastria lalu memandang ke arah Gusti Prabu, "Muncul tanda restu di leher Kara kanjeng ..."

Hanya keluarga Kara yang bingung dengan apa yang terjadi, selain itu semua orang paham kenapa Kara seperti ini. 

"Kalau begitu lebih baik kamu segera istirahat dulu." Tambah Gusti Ratu.

Raga segera berdiri sambil merangkul Kara yang kini pandangannya mulai berkunang-kunang. "Aku antar Kara ke kamar sebentar." Pamit Raga yang tidak dihentikan oleh siapapun.

Seorang Dayang langsung mengantar keduanya untuk menuju kamar Kara. Gadis itu mencoba dengan sekuat tenanga agar tidak kehilangan kesadaran karena pandangannya benar-benar dipenuhi kunang-kunang.

"Jadi, apa yang terjadi padaku?" Tanya Kara.

"Kamu mendapat restu siluman." Jawab Raga saat mereka berjalan dengan Raga yang menanggung beban Kara sepenuhnya.

"Kami juga tidak paham bagaimana itu bisa terjadi." Tambah lelaki itu.

"Apakah restu bisa diberikan dengan jaringan jarak jauh seperti sinyal telepon?"

Raga mendengus lalu tertawa kecil mendengar pertanyaan Kara. "Entahlah, mungkin bisa jadi seperti itu."

Mereka sampai di kamar yang sudah disiapkan oleh Dayang. Lagi-lagi Kara mendapat kamar tempat dia pertama kali disambut sebagai kandidat dan juga kamar yang ditempatinya saat bekerja sebagai asisten Renita. Rasanya hampir seperti rumahnya sendiri.

Dayang membukakan pintu kamar itu dan Raga mengantar Kara masuk. Ia membantu Kara berbaring di kasur dan menyelimuti gadis itu.

Raga tidak langsung pergi. Ia terus berdiri sambil menggenggam tangan Kara hingga gadis itu membuka mata dengan badan yang masih lemas. "Kenapa masih di sini? cepat balik."

"Kamu tahu kan, kalau aku keluar dari kamar ini kita tidak akan bisa bertemu sampai lusa?" Tanya Raga. Kara yang kini sudah mulai setengah sadar tidak repot-repot membuka matanya. "Kan kamu bisa diam-diam ke sini?"

Raga menyentil dahi Kara pelan, "Aku akan menghormati tradisi dan tidak akan menemuimu."

Kara tersenyum, "Sayang sekali. Tapi omong-omong apa badanku akan selemas ini sampai besok?"

"Biasanya tergantung orangnya. Tapi semoga saja lusa keadaanmu sudah membaik dan kuat untuk melakukan janji pernikahan." 

Kara tersenyum, "Tenang, aku tidak akan kabur. Aku pasti datang walaupun harus duduk di kursi roda."

Raga akhirnya mencium kening Kara lalu meremas tangannya sekali lagi. "Baiklah, istirahatlah. Sampai bertemu lusa."

Kara melambai singkat dengan tangannya tanpa membuka mata. Raga akhirnya keluar dari kamar Kara dan gadis itu segera saja terlelap.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang