38 - Surprise

2.6K 418 22
                                    

Pagi saat mereka sarapan, Adam memandangi kakaknya dan laki-laki bernama Raga itu. Ia tentu saja tidak ingin membahas privasi mereka berdua yang dirasakan oleh Adam. Tetapi Adam tidak bisa menahan diri untuk tidak menginterogasi pasangan sejoli di depannya karena sebuah cincin melingkar di jari manis kakaknya.

"Jadi ... skandal yang terakhir itu benar?" Tanya Adam sambil menusuk sosisnya dengan garpu. Mereka memutuskan untuk sarapan di kamar karena terlalu kelelahan dan malas bertemu orang.

"Yes. Dan Gusti Pangeran harus mengeluarkan Sekar untuk menutupi dugaan yang berkembang di antara masyarakat." Jawab Kara ringan.

Raga memandang ke arah Adam, lalu berkata singkat, "Skandal itu menyebar karena ulah ibumu."

Adam menganga mendengar ucapan Raga. Ia tersinggung tapi tidak bisa membalas apa-apa karena ucapan Raga adalah sebuah fakta. Ia memandang Raga dengan intens lalu bergumam, "Kakak yakin akan menikah dengan orang ini?"

"Maksudnya?" Tanya Kara bingung.

"Kakak yakin akan menikah dengan seorang penjaga?" Gerutu Adam.

Kara memandang Raga, lalu tertawa terbahak-bahak. "Memangnya kenapa? Sampai beberapa bulan lalu aku juga manusia biasa yang harus jadi budak korporat untuk mendapat uang jadi apa salahnya kalau Raga bekerja sebagai penjaga?"

Raga bersandar di kursi lalu melipat lengannya ke depan sambil memandangi Adam. "Setidaknya aku yakin bisa menjaga Kara dalam situasi berbahaya seperti kemarin. Tidak seperti seseorang." Sindirnya pada Adam.

Kara memukul pundak Raga pelan. "Apa? Kan dia yang mulai duluan." Jawab Raga.

"Adam, kamu tidak boleh meremehkan orang." Tegur Kara sambil memandang ke arah adiknya yang masih memandang ke arah Raga dengan tidak suka.

"Apa perlu aku bilang siapa orangtuaku pada anak ini?" Tanya Raga pada Kara.

"Jangan dulu ... nanti saja supaya lebih seru."

Adam memandang ke arah kakaknya, "Apasih kak?" yang dijawab dengan gelengan kepala saja oleh Kara. Ia tersenyum penuh arti pada Adam lalu Raga. 

"Daripada kamu bahas kehidupan cintaku, apa mentalmu baik-baik saja setelah melihat kejadian semalam?" Tanya Kara dengan ekspresi yang lebih serius.

Adam terdiam. "Dari awal aku percaya dengan hal-hal yang di luar nalar manusia, jadi kejadian kemarin tidak terlalu mengagetkan bagiku. Hanya beberapa bagian saja yang cukup menganggu, tapi bisa ditorelir kok ..."

"Apa kamu baik-baik saja? mungkin badanmu merasa meriang atau apa gitu?" Tanya Raga.

Adam menggeleng ragu. "Kalau tidak lebih baik kita kembali hari ini. Banyak hal yang harus kuurus setelah kejadian semalam. Aku juga harus melaporkan kejadian ini pada Pangeran. Dan kita harus minta restu pada orangtuaku dan orangtuamu." Tambah Raga sambil meraih satu tangan Kara.

Gadis itu sedikit terkejut, ekspresinya khawatir. "Harus langsung minta restu banget nih?"

Raga mengangguk, "Kalau bisa pernikahan kita diadakan saja dalam minggu ini. Tidak perlu resepsi besar, hanya ucap janji dengan didatangi keluarga dan orang-orang terdekat saja."

Kara menganga, tapi ia sudah tidak berani mengelak rencana Raga lagi. Ia sudah belajar banyak dari lika-liku cerita percintaan yang sebelumnya. Anak ini seringkali menghilang tanpa kabar jika sedang berpikir atau menjaga jarak, dan Kara tidak mau itu terjadi lagi.

"Tapi bagaimana kita pesan pesawat kalau kartu hitamku hilang?" Tanya Kara.

"Tenang saja, aku sudah minta tolong pada kakak untuk mengirim helikopter untuk kita." Jawab Raga santai.

Adam menjatuhkan sendok makannya di piring. "Kamu bisa minta dikirim helikopter?"

Raga tersenyum pada Adam, "Kenapa? bukannya keluarga Rajasa juga bisa minta helikopter jika dibutuhkan?"

"Hanya pada situasi tertentu dan jika helikopternya tidak dipakai Ayah." Jawab Adam.

"Wah sayang sekali, cepat kemasi barang-barang kalian. Kita akan pergi dalam dua jam. Biaya hotel ini sementara aku yang bayar karena kartu hitam milikmu masih tidak ada kan?" Tanya Raga pada Kara. Gadis itu mengangguk. Raga kemudian beranjak berdiri. Ia berjalan menuju kamar Kara sambil melepas bajunya. "Aku mandi duluan."

"Ibu Kartika, bisa nggak lihatnya gak usah kayak gitu." Tegur Adam pada kakaknya yang jelas-jelas memandangi Raga berjalan masuk ke kamar.

Kara tertawa sambil mengalihkan pandangan pada adiknya. "Maaf, reflek mata."

***

Kara terkejut saat dia turun dari helikopter, mereka bertiga sudah disambut dayang keraton dan beberapa abdi dalem yang sudah sepuh. Gadis itu bersyukur memakai baju yang pantas karena biasanya dia suka sekali memakai baju kasual saat dalam perjalanan. Adam juga sama terkejutnya karena dia tidak menyangka akan mendarat di keraton.

"Kak kita di keraton?" bisik Adam pelan. Ia jelas terlihat bingung apalagi saat para Dayang dan Abdi dalem yang menyambut mereka memberi salam pada Raga.

Raga meraih tangan Kara lalu berjalan mengikuti para Dayang dan Abdi dalem. Adam berjalan mengikuti di belakang dengan ekspresi masih bingung. Kara menyadari beberapa lokasi yang familiar di keraton. Ia mendadak bernostalgia dengan kenangannya selama mengikuti seleksi. Rasanya baru kemarin dia masuk ke Keraton dengan menikmati segala kemegahannya. Tapi sekarang dia sudah kembali lagi dengan bergandengan tangan dengan Raga.

Ia menyadari lokasi yang ditujunya sekarang adalah paviliun terbuka tempatnya pernah melihat matahari terbenam bersama Raga. Tempat itu kini sudah dipenuhi dengan meja makan besar yang sekarang jelas-jelas ramai. Ia melihat Gusti Prabu dan Gusti Ratu sudah duduk bersama Putra mahkota, menantu lalu kalau Kara tidak salah lihat ibu Sastria dan Ayahnya. 

Kara baru menyadari saat ia sudah dekat bahwa meja makan itu sudah dipenuhi keluarga Kara dan Raga. Bahkan ibu Adam juga datang. Ibu Kara duduk di berseberangan dari wanita itu dan di sebelahnya ada Ragil yang sedang makan juga. 

Adam berjalan mendahului kakaknya untuk memeluk ibunya. Kara menghentikan langkahnya.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau pertemuan keluarga akan dilakukan langsung hari ini? dan bagaimana kamu bisa mengumpulkan empat orang paling sibuk di negara ini untuk makan bersama dalam waktu entahlah, beberapa jam?" Gerutu Kara pada Raga.

"Aku tidak mau menunda lagi. Dan lagipula, sepertinya aku hanya punya waktu seminggu di sini dan aku harus kembali mengurus misi dengan anak-anak." Jawab Raga.

"Bukannya keturunan yang hilang itu sudah ditemukan?" Tanya Kara.

Raga mengangguk, "Memang, tapi bukan berarti masalah ini selesai. Aku malah takut kalau semua ini hanyalah bagian awal dari rencana yang lebih besar."

Kara memandang Raga. "Jadi kami mempercepat ini semua karena kamu sadar kita akan berpisah lagi untuk waktu yang tidak tahu sampai kapannya?"

Raga mengangguk. Ia menggandeng Kara dan mulai berjalan mendekat ke tempat keluarga mereka berkumpul, "Dan kita tidak tahu kan apa yang akan terjadi di masa depan..." Gumam Raga dengan nada menggantung seakan memberikan ruang untuk Kara mengisi sendiri kemungkinan-kemungkinan itu.

Kara terdiam. Ia tentu sangat sadar sekali dengan segala kemungkinan yang akan menimpa mereka di masa depan. Resiko pekerjaan tidak akan bisa dihindari. Kara mulai memantapkan hatinya. Ia mengingat-ingat tujuan awalnya melakukan semua ini adalah untuk mendapatkan hati Raga dan juga mewarisi tanggung jawab Rajasa.

Apapun apa yang akan terjadi di masa depan, Kara percaya ia bisa menghadapinya. Kini ia tidak sendiri, tapi bersama Raga.

Gadis itu melihat senyum bahagia dari ibunya dan Kara dalam sekejap merasa tenang dan lega. Ia tidak sendiri. Ia punya keluarga.

--------------------------------------

Ini adalah chapter terakhir, jadi tunggu epilogue-nya yaa 🙂

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang