27 - Kisses

3.1K 354 16
                                    

"Kepala." Jawab Renita.

Dita memasang ekspresi bingung. "Tumben?"

"Kok tumben?"

"Bukannya kalian suka otot perut, lengan atau pokoknya bagian yang berotot ya?"

Renita tersenyum. "Nggak juga ... aku suka main rambut jadi yah suka aja ngelus kepala."

Dita menganggukkan kepala, lalu mempersilahkan Renita untuk memilih kartu. Gadis itu membuka kartu yang diambilnya lalu terdiam. Renita menghembuskan napas. "Siapa cinta pertamamu?"

Kini Dita paham kenapa Renita terdiam saat membuka kartu itu. Lelaki itu menganggukkan kepala, "Pass." Ucapnya sambil mendekatkan kepalanya pada Renita. Gadis itu memutar bola mata saat melihat Dita secara otomatis langsung memejamkan matanya. Renita mendekat, lalu menarik kepala Dita dalam genggaman kedua tangannya. Gadis itu lalu mencium puncak kepala Dita dan mengacak rambutnya sekilas sebelum melepaskan Dita dari genggamannya.

Dita membuka mata lalu tersenyum. Ia mengelus kepala Renita sekilas lalu mengambil kartu.

"Kebiasaan yang tidak kamu sukai dari pasanganmu?" Tanya Dita.

Renita terlihat berpikir keras. "Suka membahas seseorang secara spesifik." Jawabnya sambil tersenyum penuh arti pada Dita. Tetapi, Dita menerima jawaban itu dengan cukup serius. Ekspresinya mendadak muram dan merasa bersalah. Renita yang awalnya berniat bercanda menyadari kalau ucapannya cukup membuat Dita mendadak muram.

"Eh, jangan terlalu dianggap serius ... aku jawab gitu karena merasa aku suka semua hal dari mas Dita.

Dita memandang Renita lalu tersenyum. "Maaf ..."

Renita merasa bersalah karena pada akhirnya lagi-lagi dia yang membahas itu. Gadis itu lalu mendekat ke arah Dita dan menariknya dalam pelukan. Renita mengelus punggung Dita. Mereka bertahan dalam posisi itu cukup lama sampai akhirnya Dita menarik Renita berbaring ke belakang sampai gadis itu berbaring di atasnya.

Dita menutup matanya sekilas karena rambut Renita mengenai matanya. Saat ia sudah membuka mata lagi, Renita sudah sangat dekat dengan wajahnya. Mereka diam sejenak dalam posisi itu, keduanya sudah tidak merasa canggung dengan satu sama lain. Setidaknya bagi Renita ia masih gugup menghadapi Dita, tetapi gadis itu sadar kalau Dita yang tidak tertarik padanya mungkin tidak merasakan hal yang sama.

Entah sejak kapan kedua lengan Dita sudah merangkul pinggang Renita dengan kedua lengan Renita di kanan kiri kepala Dita. 

"Apa mas Dita masih merasa canggung?" Tanya Dita. Ekspresinya serius.

Renita menggelengkan kepalanya perlahan terlihat sedikit ragu.

"Yakin?"

Gadis itu mengangguk. "Entahlah ... jika kita dikurung di pulau terpencil, tidak ada alat komunikasi modern atau tugas yang menganggu, tidak ada orang di sekitar kita dan lagi di luar sedang hujan ...."

Napas mereka saling bersautan. Renita masih memandang Dita. Lelaki itu tersenyum kecil lalu melanjutkan. "Bukannya ada satu hal yang pada akhirnya perlu kita lakukan cepat atau lambat? Baik untuk tugas maupun untuk kebahagiaan kehidupan pernikahan kita?"

Renita tidak menjawab pertanyaan terselubung Dita. Ia sudah sibuk mencium bibir Dita dan diterima dengan antusiasme yang sama oleh Dita.

Derasnya hujan di luar seakan tidak terdengar oleh Dita ataupun Renita. Keduanya dipenuhi oleh hasrat dan perasaan yang sudah bercampur aduk dengan suasana. Renita yang tidak ingin melewatkan kesempatan dan juga Dita yang selalu ingin menumbuhkan perasaan untuk gadis yang sekarang berbaring di atas badannya.

Dita bersyukur orangtuanya mengirim mereka ke sini. Setidaknya untuk sesaat ia bisa melupakan Raga, Kara, tugas dan posisinya. Untuk sesaat dia hanyalah seorang lelaki yang menikmati perasaan alami yang timbul di antara lelaki dan perempuan.

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang