Raga pergi.
Setelah malam pembicaraan antara Raga dan Kara, lelaki itu hilang dan tidak bisa dihubungi. Kara menanyakan keberadaan Raga pada Gusti Pangeran, tetapi hasilnya nihil. Kara akhirnya kembali pada rutinitasnya dengan mengirim satu pesan setiap hari untuk menanyakan kabar Raga.
"Mas Dita beneran tidak tahu apa-apa?"
Dita menganggukkan kepala. "Dia biasanya begitu, kalau sudah keluar dari keraton kami tidak bisa mencarinya. Kemungkinan dia pergi dengan penjaganya, tetapi komunikasi penjaga tidak terlalu dikontrol dari sini. Mereka hanya akan melaporkan jika ada yang darurat."
"Apa aku bisa menghubungi penjaganya?" Tanya Kara.
Dita menggelengkan kepala, "Sayangnya tidak bisa, komunikasi dengan para penjaga hanya boleh dilakukan oleh keluarga Keraton saja untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Kalaupun aku tahu ke mana Raga pergi, aku tidak bisa mengatakan di mana dia untuk melindungi keamanan Raga."
Kara menghembuskan napas. Saat itu Kara sedang berada di ruangan Dita dengan posisi duduk berseberangan dari Dita yang sibuk bekerja. "Apa mas Dita bisa setidaknya mencoba untuk menghubunginya dan menanyakan keadaan Raga?"
Dita mengangguk, "Akan kucoba. Tapi, aku tidak menjanjikan apapun."
Kara hanya mengangguk lemah, lalu beranjak berdiri. "Baiklah, terima kasih."
"Kara," Panggil Dita saat Kara sudah sampai pintu. Gadis itu berhenti untuk menghadap ke arah Dita.
"Raga akan baik-baik saja." Tegas Dita. "Aku juga berharap begitu." Tambah Kara lalu berjalan keluar ruangan.
Sejak kepergian Raga, Kara setiap sore pergi ke ruangan Dita untuk menanyakan hal yang sama. Ia selalu mampir selama sepuluh menit sebelum akhirnya keluar.
Sebenarnya kebiasaan ini tidak membahayakan siapapun, tetapi hal itu tetap saja mengundang gunjingan dari para abdi dalem Keraton. Hingga akhirnya itu masuk ke telinga Gusti Ratu dan pada akhirnya sampai pada Renita.
Kara sedikit terkejut saat dia mendapat pesan dari Renita yang mengajak bertemu di ruang kerja Renita saat waktu kerja Kara sudah habis. Gadis itu mengecek waktu yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kara yang sudah memakai baju tidur akhirnya meraih kardigan biru lalu berjalan ke luar menuju ruang kerja Renita.
Para penjaga berjaga di sepanjang lorong ruangan Renita. Kara mengetuk pintu dua kali dan tidak lama pintu dibukakan oleh Dayang pendamping Renita yaitu Ana.
Renita mendongak menatap ke arah Kara dari tumpukan kertas di depannya. Gadis itu tersenyum, "Mbak Ana, tolong ambilkan camilan dan minuman untuk kami."
Dayang Ana menjawab, "Baik Kanjeng ..." lalu berjalan keluar ruangan dan menyisakan Renita dan Kara dalam ruangan.
Kara menunggu Renita, gadis itu lalu bangkit dari meja kerjanya untuk mengambil duduk di sofa yang ada di depannya. Kara segera menempatkan diri di sofa setelah Renita duduk.
Renita masih diam, sedangkan Kara menunggu Renita untuk memulai percakapan karena gadis itu yang memanggilnya datang. Suara ketukan pintu terdengar yang langsung dipersilahkan masuk oleh Renita. Dayang Ana masuk bersama satu orang lain yang membawakan satu nampan camilan dan minuman.
"Tinggalkan kami berdua ..." Ucap Renita pada Dayangnya. Tanpa banyak bicara Dayang Ana melangkah keluar.
Kara mengamati saat Renita melakukan perenggangan leher, gadis itu lalu berdiri untuk merenggangkan badan dengan diamati Kara.
"You okay?" Tanya Kara. Renita hanya mengangguk lalu duduk bersandar di sofanya. Ia terlihat lelah.
"Aku tahu kamu bukan tipe orang yang suka basa-basi, jadi aku akan langsung ke intinya saja. Kunjunganmu ke ruangan mas Dita tiap sore sudah menimbulkan rumor miring di keraton. Bahkan Gusti Ratu sendiri sudah mendengar itu. Beliau memintaku untuk menyelesaikan masalah ini." Jelas Renita lalu mengambil satu camilan dan memakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blessed [END]
ChickLit[SEKUEL PRIVILEGE] Cerita Beririsan dengan Gate Into The Unknown. Akan lebih seru kalau kalian baca itu juga. Setelah selesai seleksi, Kara berniat kembali pada kehidupan normalnya. Tetapi dia kesulitan mendapat pekerjaan dan masih galau dengan stat...