08 - Pertanyaan

3.1K 482 31
                                    

Kara terbangun tengah malam karena suara ketukan di jendela. Ia melihat waktu dari ponselnya dan mendapati saat itu masih pukul dua pagi. Suara ketukan di jendelanya masih terus berbunyi membuat Kara curiga sekaligus ketakutan. Ia beranjak dari tempat tidurnya sambil meraih vas bunga dari meja samping. 

Ia berbisik pelan, "Siapa?"

Ketukan itu berhenti lalu terdengar suara jawaban dari luar, "Ini aku Raga."

Setelah mendengar itu Kara membuka gorden dan lega melihat Raga berdiri di sana. Ia lalu membukakan jendela itu membiarkan Raga melompat naik ke kamarnya. Kara melangkah mundur untuk memberi ruang pada Raga, "Harus banget lewat jendela?"

Raga tersenyum kecil, Ia menempatkan diri duduk di bingkai jendela. "Well, karena masuk ke kamar perempuan pada malam hari bukanlah tata krama yang benar." Ujar Raga sambil menaikkan kedua bahunya.

Kara duduk di kasurnya sambil memandang Raga. Ia mengusap seluruh wajahnya sambil menguap. "Ada apa sampai kamu datang di jam tidur seperti ini?"

Raga menghembuskan napas. Ekspresinya tidak terlihat senang. "Aku baru saja berkumpul dengan keluargaku untuk acara pemberian restu pada Renita ...." 

Raga terdiam sejenak. "Pada pertemuan itu mereka, maksudku pelindung keluarga keraton membicarakan masalah pewaris ibu Sastria dan tentu saja posisiku sebagai Pangeran kedua."

Kara masih diam menunggu Raga menyelesaikan ucapannya saat lelaki di depannya menghindari pandangan Kara. "Dan satu hal yang membuatku sedikit kepikiran adalah, orangtuaku melarang untuk menceritakan tentang hal-hal yang tidak seharusnya diketahui orang lain selain keluarga Keraton atau Rajasa."

"Tapi aku kan termasuk keluarga Rajasa?" Ucap Kara terdengar enggan mengakui itu. Raga menatapnya lalu berkata pelan, "Tahu kan apa maksudku?"

Kara mengerti. Meskipun dia secara harfiah bagian dari keluarga Rajasa, jauh dalam lubuk hatinya ia tidak sepenuhnya menerima itu. Apalagai tanggung jawab yang selalu dibicarakan oleh neneknya, Kara sampai saat ini belum ada kemauan untuk menerima itu.

"Iya aku paham. Lalu apa tujuanmu mengatakan itu semua?"

Raga menggosokkan kedua telapak tangannya, "Ada dua pertanyaan yang ingin aku tanyakan padamu."

"Apa?"

"Pertanyaan pertama, Apa kamu punya niatan untuk berkomitmen denganku atau tidak?" Tanya Raga dengan ekspresi putus asa.

Kara yang mendengar itu hanya membuka mulut tanpa ada suara yang keluar. Raga menaikkan kedua alisnya. "Jadi kamu memang tidak ada niatan berkomitmen denganku ya ..."

"Bukan begitu, aku mau berkomitmen denganmu ... tapi aku ...." Kara sekali lagi dilanda dilema karena dia belum siap dengan tanggung jawab yang akan datang bersamaan dengan komitmen bersama Raga.

"Walaupun sudah hampir empat bulan berlalu. Kamu masih sama ya ... tidak siap menerimaku karena aku keluarga keraton." Sergah Raga.

Kara beranjak berdiri berniat untuk meraih Raga tetapi lelaki itu memberikan gestur tubuh menolak, "Aku nyaman dengan jarak kita sekarang. Jadi tolong jangan mendekat."

Kalimat Raga membuat hati Kara merasa tertusuk. Ia akhirnya mundur lalu duduk lagi di kasurnya sambil menahan air mata yang perlahan mencoba jatuh dari pelupuknya. "Itu masalahmu. Aku sudah siap berkomitmen denganmu termasuk menerima tanggung jawab dan resikonya, tetapi kamu belum bisa menerima Aku sebagai Pangeran kedua keraton. You need to work on that ... Orangtuaku secara gamblang mengatakan kalau mereka belum terlalu percaya padamu."

Kara tidak bisa merespon ucapan itu karena ucapan Raga sepenuhnya mendeskripsikan Kara saat ini. "Lalu pertanyaan kedua ... Apa kamu pernah sekali saja mempertimbangkan menjadi pewaris tanggung jawab keluarga Rajasa?"

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang