12 - Rumah

3K 462 10
                                    

"Terima kasih atas bantuanmu ..." ucap Kara sambil memeluk Renita.

"Kabari aku jika kamu butuh bantuan lagi." Jawab Renita.

Kara menjawab dengan santai, "Untuk sekarang, bantuan yang kemarin sudah cukup untuk memulai misiku. Sampaikan ucapan terima kasihku pada Mas Dita juga."

Mereka berdua berjabat tangan, lalu Kara membawa kopernya masuk ke kursi belakang mobil. Perjalanan pulang menuju Surabaya memakan waktu kurang lebih enam jam. Saat Kara sudah sampai di depan apartemen, ia berterima kasih pada supir kemudian berjalan keluar sambil menarik kopernya.

Kara memakai masker dan jaket dengan tundung kepala untuk menutupi wajahnya. Saat ia sampai di depan apartemen kecil keluarganya, Kara berhenti di depan pintu sambil memandang kosong ke depan. Setelah hampir setahun ia tidak pulang, ia akhirnya kembali.

Kara mengetuk pintu. Setelah beberapa kali ketukan, pintu akhirnya dibuka oleh adiknya Ragil.

"Ibuu ... mbak Kara pulang!" Teriak Ragil. Anak itu menarik Kara dalam pelukannya. Saat mereka selesai berpelukan, Ibu Kara muncul dan juga menarik Kara dalam pelukan eratnya.

Ragil menarik koper Kara dan merekapun menempatkan diri di sekeliling meja makan. Ibu Kara sudah menyiapkan makan siang ketika tahu anaknya akan pulang. Kara hanya dia selama makan siang itu berlangsung. Ia masih merasa canggung dengan ibunya karena selama kepergiannya mengikuti seleksi, banyak hal yang terjadi.

Identitasnya sebagai anak di luar nikah, adiknya Ragil yang adalah adopsi dari keluarga adik ibunya, hingga identitas ayah Kara dan berbagai hal tidak masuk akal yang didengarnya akhir-akhir ini.

Mereka bertiga makan dalam diam. 

Ragil sesekali melirik ke arah ibunya dan Kara secara bergantian untuk mempersiapkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Sejujurnya dia mengira akan ada pertengkaran yang terjadi antara ibu dan kakaknya. Ternyata mereka berdua tidak banyak bicara.

"Jadi, kamu liburan ke mana saat menghindar dari media kemarin?" Tanya Ibu Kara.

Kara waktu itu hanya pamit kalau dia akan pergi liburan ke luar negeri selama sebulan tanpa menyebutkan negara yang dikunjunginya.

"Tempat kita tinggal dulu. Spania. Dan negara-negara di sekitarnya." Jawab Kara.

"Apa kamu tidak takut pergi sendiri?"

Kara menggelengkan kepala, "Negara di sana aman untuk dikunjungi seorang diri."

Ibunya mengangguk tanda mengerti. Ragil sekali lagi tidak mengerti jalan pikiran dua orang yang ada di depannya. 

"Aku mau minta maaf karena sudah mengumbar aib kita ..." Ujar Kara tiba-tiba. Momen inilah yang ditunggu Ragil.

"Lagipula, semuanya sudah terjadi. Malahan ibu senang karena tidak ada hal yang perlu kita tutupi lagi."

Kara terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi masih memikirkan apakah harus diungkapkan atau tidak. Pada akhirnya dia memilih untuk bertanya.

"Kenapa ibu memilih untuk mempertahankan kandungan?" Tanya Kara sambil menaruh sendok dan garpunya.

"Ibu sudah mencoba itu. Meskipun setelah mendapat ancaman ibu bertekad untuk membesarkanmu. Pemikiran untuk aborsi tetap muncul. Pertama kali ibu pergi ke dokter untuk periksa kandungan, ibu bisa mendengar suara detak jantungmu. Dan rasanya kebulatan tekad untuk mempertahankanmu semakin besar." Setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya.

"Ibu tahu kalau membesarkanmu bukanlah hal yang mudah, tetapi itu adalah bagian dari resiko jika seseorang memilih untuk punya anak. Kalau tidak mau punya anak, harusnya ibu dan ayahmu lebih berhati-hati dalam berhubungan ... atau tidak perlu berhubungan badan juga ... tapi yah ... kami terbawa suasana."

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang