01 - Kejutan

4.3K 614 20
                                    

Saat Kara selesai berganti pakaian, ia sadar bahwa Sekar tidak memberitahu dirinya di mana mereka berkumpul. Kara akhirnya bertanya pada Dayang yang ditemuinya. Setelah mencari cukup lama Kara akhirnya sampai, dan dia tidak menduga kalau semua mantan kandidat sudah ada di sana.

"Oh .. kalian di sini juga? Kak Lita, Kak Eka?" Kara menghampiri sambil merentangkan tangan untuk memeluk Lita dan Eka bergantian.

"Astaga Kara ... lama gak ketemu!" Sergah Lita sambil menarik Kara dalam pelukan.

Eka juga tersenyum lalu memeluknya. "Gimana kabarmu?"

Kara berhembus pelan lalu menempatkan diri duduk di sofa bersama Eka dan Lita, "Tidak baik .. aku masih belum dapat kerja lagi."

Lita dan Eka bertukar pandang. "Kamu kan dari keluarga Rajasa?" Celetuk Sekar dari sofa seberang.

Kara memandang ke arah Sekar, "Entahlah ... rasanya tidak benar jika aku harus masuk ke keluarga itu saat Ayah sudah punya keluarganya sendiri."

"Tidak harus bersama mereka, kan kamu bisa memanfaatkan pengaruh keluargamu untuk cari kerja? Atau minta tolong mungkin ...?" Jawab Sekar.

Kara memandang ke arah Lita dan Eka sekilas, tetapi sebelum ia sempat menjawab Eka buka suara. "Jangan bilang kalimat klise, kamu tidak mau mendapat bantuan keluarga dan ingin berusaha dengan kekuatanmu sendiri?"

Kara terdiam mendengar itu. Lita tersenyum lalu berkata, "Sepertinya dia memang mau bilang begitu."

"Saranku adalah, berhenti jadi idealis dan ambil tindakan yang logis. Hidup tidak selamanya berjalan seperti keinginanmu."

Renita akhirnya masuk ke ruangan lalu dia angkat bicara, "Aku setuju dengan kalian. Dan Kara, kamu harus menurunkan egomu dan berpikir logis sekali saja."

Mereka semua menoleh ke arah Renita yang masuk dengan pakaian formal kebaya yang biasa digunakan untuk pesta. Mereka semua bingung melihat Renita yang memakai kebaya mewah dalam situasi yang sama sekali tidak mewah.

"Kamu kenapa pakai baju itu?" Tanya Sekar.

Renita tersenyum, "Oh, kedatangan kalian semua hari ini adalah untuk mengukur ukuran baju."

"Apa?!!!"

Renita menaikkan kedua pundaknya sambil tersenyum. Kara langsung protes, "Lalu tawaran jadi wedding organizer itu cuma kebohongan saja?"

"Ah itu khusus untukmu Kara ... Lagipula tidak mungkin aku meminta kalian untuk jadi panitia di hari bahagiaku. Aku mau kalian menikmati acara." jawab Renita.

"Yah, tidak jadi gajian dong ..." keluh Kara yang membuatnya mendapat pandangan dari empat orang lainnya.

"Aku akan menawarimu pekerjaan nanti. Tapi sekarang, kita akan ukur badan kalian." Teriak Renita dengan percaya diri. Renita menepuk tangan pelan, dan seketika orang-orang masuk ke ruangan dengan membawa penggaris lentur pengukur badan. Mereka semua menarik masing-masing satu orang untuk diukur badan.

Kara sebenarnya ingin protes, tapi para staf pengukur badan segera menariknya menjauh, lalu mulai mengukur badannya. Renita yang melihat itu akhirnya hanya berkata, "Jika kamu diam, kamu akan mendapatkan informasi yang kamu butuhkan."

Para mantan kandidat yang lain hanya bertukar pandang dalam diam memperhatikan Kara. Sedangkan Kara yang awalnya melawan, akhirnya diam dan menuruti semua instruksi dari staf.

Setelah semua selesai mengukur baju, Renita mengajak mereka berbincang sambil makan camilan di salah satu paviliun Keraton. Kara merasakan nostalgia, memorinya bersama Raga seakan baru kemarin dia melihat Raga menjemputnya saat subuh bersama Mbok Kinan. Kara seperti robot otomatis yang mengikuti semua kegiatan tanpa adanya reaksi dan ekspresi. Empat orang lain menyadari itu dan saling bertukar pandang. Kara bahkan tidak menyadari kalau teman-temannya saling bertukar sinyal dan pada akhirnya meninggalkan meja satu persatu hingga meninggalkan Renita dan Kara.

"Kara .... kara ... kara!!" Panggil Renita sampai akhirnya Kara sadar.

Ia menoleh ke sekitarnya dan terlihat bingung. Renita menatapnya dengan ekspresi khawatir. "Apa kamu tidak apa-apa?"

"Ah .. sejujurnya aku juga tidak tahu." Jawab Kara sambil menunduk.

"Aku panggil mas Dita dulu. Coba tanyakan apapun yang kamu mau padanya." Jelas Renita.

Sebuah harapan terlihat di mata Kara. "Benarkah?"

Renita mengangguk. "Ini adalah pertama kalinya aku melihatmu seperti orang tanpa jiwa."

Kara tertawa sarkas, "Mungkin kamu benar. Aku gila akhir-akhir ini."

"Memangnya kenapa?"

Kara menggelengkan kepala, "Aku bingung. Hubunganku dengan Raga bukan hubungan yang normal."

"Menurutku normal. Kamu saja yang tidak siap menerima dia sebagai Pangeran kedua. Dan yah, tindakanmu itu egois. Kamu suka Raga tapi tidak siap dengan siapa dia dan tanggung jawabnya." Ucap Renita sambil menyeruput minumannya.

Kara tidak bisa menanggapi Renita karena yang dikatakan gadis itu adalah sebuah fakta. Dia egois, dia mengharapkan Raga tapi tidak bisa menerima identitas asli Raga dan sekarang Kara berharap bisa bertemu dengan Raga.

"Aku hanya takut. Sebuah posisi akan menumbuhkan suatu tanggung jawab baru, aku hanya belum siap saja." Keluh Kara.

Renita menatapnya tajam. "Kamu tentu tahu kan kalau pangeran kedua tidak memiliki pengaruh dan tanggung jawab di dunia politik kerajaan kita?"

Ekspresi Kara mendadak lebih serius. "Oh memangnya begitu ya?"

Renita mengamati suasana di sekitarnya lalu berbisik pelan, "Kamu tentu tahu kan kalau Gusti Prabu memiliki adik laki-laki kandung, dan aturan keraton mengatakan kalau nama ningrat akan berakhir hanya pada dirinya kan?"

Kara samar-samar mengingat pelajaran kewarganegaraan saat SMA. Jika kerabat langsung dari Raja tidak akan bisa mewariskan nama keluarga keraton pada anak mereka. Selain itu, anak kedua dari Keraton tidak pernah menjabat dalam dunia politik kerajaan.

"Ah iya, nama beliau jarang disebut dalam pelajaran, aku sampai lupa."

Renita mengangguk, "Nah benar, kalaupun Raga dan kamu menikah, kamu tidak akan masuk dalam politik. Jadi kamu tidak perlu takut."

"Tapi, bukannya keluarga kerajaan memiliki tugas?" Tanya Kara.

Sebelum Renita sempat menjawab, seorang lelaki berdiri di belakangnya, ia lalu memegang pundak Renita membuat gadis itu menoleh ke belakang. Kara melambai pelan pada Dita yang baru datang.

"Kalian sepertinya membicarakan sesuatu yang menyenangkan." Ucapnya sambil menarik kursi untuk duduk di sebelah Renita.

Dita merangkulkan satu tangannya ke kursi Renita lalu bertanya pada Kara. "Jadi apa yang kalian bicarakan tentang keluarga kerajaan?" Tanya.

Kara tersenyum melihat mereka berdua, ia sepertinya telah sukses menjadi mata-mata. "Kami membahas tentang tugas keluarga kerajaan yang tidak masuk dalam pewarisan takhta." Jawab Kara, tetapi Renita menambahkan, "Sebenarnya kami membahas itu semua karena Kara takut menerima perasaan Raga."

"Oh, kamu masih takut dengan tanggung jawab yang mungkin saja harus kamu tanggung?" Tanya Dita.

Dita mendengus pelan saat Kara menganggukkan kepala. Dita melirik ke arah Renita sekilas kemudian mulai bicara pada Kara. "Kamu tahu kan kalau keluarga Rajasa mempunyai tugas untuk melindungi Keluarga Keraton?"

Kara mengangguk, "Tapi apa hubungan itu dengan tugas keluarga Keraton?"

"Para keturunan keraton yang tidak menjadi penerus biasanya mendapat tugas untuk melindungi keluarganya yang berkuasa. Tidak semua, tapi akan ada orang yang ditawari untuk mengambil posisi itu."

Kara memotong ucapan Dita. "Melindungi dari apa tepatnya? Kalau masalah keamanan, bukannya Keraton adalah tempat teraman?"

Dita menjawab pelan, "Apa menurutmu ancaman itu hanya datang dari manusia?"

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang