13 - Keputusan

3K 454 31
                                    

Kara meminta izin pada ibunya untuk diperbolehkan menyandang nama Rajasa. Ibunya langsung memeluk Kara, "Semua itu terserah padamu. Kalaupun kamu menerima uang dari mereka, Ibu tidak ingin minta uang juga pada mereka. Uang itu cukup untuk kamu saja." 

"Apa ibu benci pada Ayah?"

Ibu Kara menggeleng. "Kami sudah berpisah, dan lagipula Ayahmu sudah memiliki keluarga. Ibu tidak mau mendapat masalah. Kalau bertemu mungkin bisa asal ada kamu."

Kara mengerti keputusan ibunya. "Kalau begitu aku harus pamit lagi pada ibu. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan pergi untuk menyelesaikan urusan ini."

Ibu Kara mengangguk. "Jadi kamu sudah memutuskan untuk menerima Raga?"

"Iya ... tapu untuk bertemu denganya, aku harus menyelesaikan urusanku dengan Rajasa dulu ..."

Kara memeluk ibunya dengan erat, air mata menetes pelan. Setelah beberapa saat, Ibu Kara tiba-tiba keluar dari kamar anaknya meninggalkan Kara untuk mengemas pakaian. Ketika Ibu Kara kembali, ia membawa sebuah kotak perhiasan kecil. Ia kemudian membuka kotak perhiasan itu dan mengeluarkan sebuah kalung berwarna putih dengan liontin berbentuk tetesan air berwarna biru.

"Saatnya kamu mendapat hadiah ini. Kalung ini diturunkan pada anak perempuan pertama yang lahir dalam keluarga." Ucap Ibu Kara sambil memasangkan kalung itu pada anaknya.

Kara memegangi liontin berbentuk tetesan air yang terasa dingin di jarinya. "Ada tradisi kayak gini juga ya di keluarga kita?"

Ibu Kara tersenyum. "Semiskin apapun keluarga kita, kalung ini tidak boleh dijual. Ah ... lagipula kamu tidak akan bisa menjualnya." Senyuman itu penuh arti.

Setelah Kara selesai mengemas keperluannya dalam koper berukuran sedang, gadis itu kemudian membawa koper dan tas ranselnya ke ruang tamu. Ia mendapati Ragil yang sedang serius menghadap laptop mengerjakan sesuatu.

Kara  masih menunggu mobil jemputan dari Rajasa datang dan karena dia tidak punya hal untuk dilakukan, Kara akhirnya iseng mencubit kedua pipi Ragil dengan keras hingga mengagetkan adiknya.

"Apa sih Mbak?!" Gerutu Ragil sambil menampik kedua tangan Kara tapi pandangan masih fokus pada laptop.

Kara kemudian beralih dengan merangkul leher adiknya menggunakan lengan kanan lalu menariknya ke belakang sampai mereka bersandar pada sofa. Kara mengelus puncak kepala adiknya. "Jaga ibu selama mbak gak ada ya?"

Ragil melirik koper kecil di lantai, "Mbak mau cari kerja lagi?"

"Hmm, bisa dibilang begitu, tapi kali ini tidak akan semudah pekerjaan sebelumnya."

Ragil mengangguk, Kara kemudian melepaskan rangkulannya. "Telpon kakak saja jika kamu butuh bantuan."

Ragil yang sudah lepas dari pelukan Kara menghadap padanya. Ia mengamati Kara dari atas sampai bawah. "Untung aku bukan adik kandung, mbak sekarang jelek banget asli ..."

Ucapan Ragil segera saja membuat Kara menggulat adik angkatnya. Ibu Kara hanya mengamati mereka berdua saat keduanya bergulat dan saling hajar dengan senyuman bangga. Ketika mereka berdua akhirnya selesai bergulat, rambut keduanya sudah berantakan dengan ekspresi kesal. Beruntung saat itu ponsel Kara berbunyi membuat pergulatan keduanya benar-benar berhenti. Kara menerima telpon itu lalu sambil berdiri, setelah berbincang sebentar Kara mengakhiri telepon dan akhirnya pamit berangkat pada ibu dan adiknya.

"Hati-hati di jalan mbak ..." Ucap Ragil pelan saat Kara keluar dari apartemen mereka.

Kara langsung menelpon Sekar. Teman selebritinya itu menerima telpon dengan cepat. 

"Jadi bagaimana apa kamu sudah mendapat hasil yang cukup meyakinkan?"

"Aku sudah mendapatkan beberapa informan yang cukup meyakinkan. Mereka sudah menghubungi pihak manajemenku. Aku akan minta tolong pada mereka untuk segera mengirim data-data informannya padamu."

"Terima kasih Sekar ..."

Sekar terdengar menggerutu tapi tidak berkomentar. "Kara, apakah korban penculikan itu adalah keluargamu?"

Kara terdiam sejenak. Ia dari awal tidak memberitahu pada Sekar bahwa tujuan Kara mencari korban kasus penculikan yang terjadi hampir lima puluh tahun yang lalu adalah untuk membantu misi Raga. "Bisa dibilang begitu. Keluargaku mendapat informasi kalau orang yang kami kira sudah meninggal itu, ternyata selamat dari kasus penculikan. Rumornya dia mempunyai keturunan. Jadi kami berusaha mencari anak itu." Jawab Kara seadanya.

"Semoga orang-orang yang mengaku mengetahui kasus itu benar-benar seorang informan. Baiklah, dengan ini aku sudah selesai membantumu untuk mencari informan melalui sosial media ya ... Jangan lupa janjimu. Senang berbisnis dengan anda." Ucap Sekar kemudian mengakhiri telepon.

Kara tersenyum melihat layar ponselnya, "Dasar ..." Gumamnya. 

Kara turun dari apartemennya. Dia menemukan sebuah mobil diparkir di halaman depan apartemennya dengan seorang laki-laki yang menunggu. Kara mendatangi lelaki itu, ia menyodorkan tangan untuk berjabat tangan yang diterima oleh Leonardus dengan senang hati.

"Mbak Kara, akhirnya kita bertemu dalam kesempatan yang lebih baik." Ucapan Leonardus membuat Kara tertawa.

"Terima kasih karena bapak sudah mau repot-repot sampai datang ke sini secara pribadi untuk menjemput saya."

"Sebuah kehormatan bagi saya." Ucap Leonardus sambil menarik koper Kara untuk dimasukkan ke bagasi. Ia lalu membukakan pintu untuk Kara dan gadis itu masuk ke mobil. Leonardus kemudian naik ke kursi penumpang di sebelah supir. Saat mobil mulai berjalan, Leonardus memberi Kara beberapa dokumen yang harus diisi untuk pergantian namanya secara resmi.

"Jadi kita ke mana dulu?" Tanya Kara sambil mengisi data.

"Kita akan bertemu Ibu Sastria dulu lalu pergi untuk menemui Pak Yudha. Bagaimana, apa perlu ada tambahan lainnya?"

Kara menggeleng, "Tidak perlu. Untuk sekarang sepertinya cukup dengan itu saja." 

Kara mengira dia akan naik mobil untuk pergi ke rumah neneknya, tetapi Leonardus membawa Kara ke sebuah gedung pencakar langit, dan mengajaknya naik ke atap. Kara sudah bisa menebak kendaraan yang menunggu mereka.

"Jadi, nenek sekarang sedang di?" Tanya Kara saat ia dan Leonardus sampai di lantai tertinggi gedung, dan mereka sedang berjalan naik tangga terakhir untuk ke atap. Seperti dugaannya, Leonardus membuka pintu ganda menuju area atap lalu menjawab, "Ah, kebetulan beliau berada di villa kelurga yang ... hmm lokasi tepatnya hanya diketahui pilot. Tapi intinya, kita harus ke sana."

Kara melangkah keluar dan melihat sebuah helikopter sedang menunggu mereka naik. Angin bertiup kencang du sekeliling Kara. Ia sebenarnya masih ingin bertanya, tetapi suara baling-baling membuat ucapannya sulit dipahami. Kara mengira dia akan naik bersama Leonardus, tapi sekretaris ayahnya itu hanya membantu memasukkan barang lalu melangkah turun.

Kara yang sudah memakai sabuk pengamannya baru menyadari Leonardus berdiri di luar helikopter sambil mengamati Kara. Gadis itu berniat untuk bertanya tapi segera menyerah karena pintu sudah ditutup dan helikopter perlahan terbang, ia akhirnya hanya bisa melambaikan tangan sebagai pengganti ucapan sampai jumpa.

Perjalanan dari timur pulau menuju barat pulau kurang lebih menghabislan waktu hampir dua jam. Saat Kara sampai, ia mengambil barangnya lalu turun. Neneknya sudah menunggu di luar masih saja berdiri dengan tongkat.

Saat Kara sudah dekat dengan neneknya, gadis itu meraih tangan neneknya lalu mencium punggu tangan Ibu Sastria. Ibu Sastria sedikit terkejut tapi dia hanya berkomentar, "Nah kalo gini kan sopan. Bukan cuma  pake salaman aja ..." komentar neneknya sambil mengingat momen pertemuan mereka yang pertama.

Ibu Sastria mempersilahkan Kara masuk. Ia memberi isyarat padanya untuk duduk di kursi ruang tamu. Lalu dia masuk rumah dan keluar lagi sambil membawa minuman kemasan manis untuk Kara.

"Jadi, ada urusan apa sampai kamu minta bertemu denganku?" Tanya nenek Kara sambil duduk di sofa.

Kara mempersiapkan mental, ia menghirup udara sebelum akhirnya buka mulut, "Aku mau menerima tanggung jawab itu." Ucap Kara.

Ekspresi Ibu Sastria tetap tenang. Ia mengamati Kara yang terlihat bertekad dan bersemangat, karena tidak tega Ibu Sastria hanya berkata, "Sepertinya Nyonya sedang mencari pewaris lain, karena dia juga tidak terlalu berharap padamu. Sayangnya, kamu sekarang sudah tidak ada kesempatan untuk mengajukan diri, jadi yah ...."

Kara berteriak pelan, "APA?????!!!!!!"

------------------------------------------------------------

Blessed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang