41

48.4K 1.3K 49
                                    

Nira menelan ludahnya dengan kasar. Tidak tau harus menjawab apa untuk menjelaskan semuanya.

"Kamu ... kenapa tidak mencari wanita lain? Yang lebih cantik atau mungkin yang lebih kaya?"

"Jatuh cinta itu tidak bisa direncanakan. Apalagi hatinya di stel untuk mencintai si ini atau si itu saja. Tidak bisa. Cinta itu fitrah yang dihadirkan Tuhan untuk manusia. Tidak semua lelaki mencintai wanita cantik ketika melihat yang cantik. Begitupun saya ..."

Tatapan lelaki itu seperti tatapan keputusan asaan? Entah. Nira terbingung untuk menilai lelaki muda ini.

Terkadang ia terlihat slengean, terkadang juga bersikap dewasa. Seperti punya kepribadian ganda. Tapi salah satu hal yang paling menonjol, lelaki ini terlihat cerdas.

"Nggak usah mikir cinta cintaan terus. Kamu masih muda. Masih banyak hal yang bisa kamu raih. Kamu akan bertemu dengan wanita wanita hebat lainnya yang tentu akan lebih menarik hati kamu. Percaya deh, mungkin saat ini perasaan kamu hanya sebuah cinta sesaat. Cinta monyet saja yang suatu saat nanti pasti akan menghilang seiring berjalannya waktu."

Pijar lelaki itu terlihat kecewa. Apalagi cinta tulusnya ternyata malah tidak dipercayai wanita yang ia suka. Lelaki itu hanya bisa mengepal tangannya menahan amarah. Marah dengan keadaan yang tidak pernah berpihak padanya.

"Saya akan membuktikannya!"

"Tidak perlu. Karena saya ..." Suara deringan ponsel menghentikan ucapan Nira. Ia melihat si penelepon yang ternyata suaminya sendiri.

"Iya iya. Aku pulang."

Nira langsung membereskan tasnya, lalu bersiap pergi. "Maaf ya. Saya harus pergi sekarang," ucap Nira menatap lelaki muda itu, meminta pengertian. Kalau tidak memasang wajah seperti itu, ia tak yakin lelaki muda itu mau mengerti.

Dengan terpaksa, Elang harus keluar kamar itu. Padahal masih banyak yang ingin ia bicarakan.

"Sampai bertemu lagi calon istri."

***

Nira sampai apartemen sebelum Maghrib. Ketika masuk kamar, ada suara air mengalir di kamar mandi. Sepertinya itu suaminya.

Setelah meletakkan tas, Nira ke dapur untuk melihat persediaan yang ada di kulkas. Enaknya masak apa ya.

Ia memasak nasi terlebih dahulu di Magicom. Tak lupa juga memastikan tombolnya sudah di tombol 'memasak'. Kan tidak lucu, kalau lauknya nanti sudah matang, eh nasinya malah masih jadi beras.

Ada daging, brokoli, jagung. Sepertinya semua bahan dicampur dan dioseng saja bukan ide yang buruk.

"Masak apa, sayang?"

Aroma sabun yang menguar membuat Nira menoleh. Rambut basah suaminya dengan kaos pendek celana selutut itu sukses membuat sang suami terlihat seksi.

Jujur, Nira belum terbiasa dengan semua pemandangan ini.

"Malah bengong. Terpesona dengan suami sendiri?"

Usapan tangan Arsen yang dingin di wajah Nira membuat pipinya terlihat memerah. Bisa bisanya ia bengong.

"Semoga jantungku selalu kuat dengan semua ini," gumam Nira.

"Kamu darimana? Kenapa baru pulang jam segini?" Arsen memeluk Nira dari belakang, lalu dengan isengnya mengecupi leher istrinya itu.

Nira mematikan kompor. Untungnya masakannya sudah selesai. Kalau tidak, bisa kacau kalau Arsen sudah nongol.

"Aku belum mandi, loh."

"Nggak papa. Tetep wangi."

Ya. Aroma asli Nira, entah kenapa selalu membuat Arsen candu untuk menciuminya.

Omku MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang