3

731K 8.2K 473
                                    


••••

"Nira kamu belajar bikin ketupat ya. Tadikan udah lihat caranya. Coba kamu praktikin. Ibu tinggal bentar. Mau nyuci berasnya dulu buat ketupat nanti," ucap sang ibu sembari meninggalkan anaknya di ruang tengah.

Wanita paruh baya itu segera mengambil beras di dapur, lalu keluar rumah untuk membersihkan beras di sumur dekat rumah ibunya, wanita yang dipanggil nenek oleh Nira, yang sudah berumur sepuh tapi masih terlihat bugar.

Mereka memang belum punya kamar mandi sendiri. Masih menumpang di rumah sang ibu.

Nira yang sedang asyik membuat ketupat, tak sadar ada seseorang yang mendekat.

"Kamu mau tau nggak cara tercepat supaya kamu bisa bikin ketupat itu?" tanya seseorang tiba-tiba.

Nira yang mendengar suara tersebut langsung tersentak. Ia mendongak melihat seseorang yang berbicara itu. Seseorang yang selalu berusaha ia hindari. Tak pernah menyangka jika posisi mereka kini hanya beberapa centi saja.

Wajahnya pun memucat melihat seringaian lelaki itu. Ia pun beringsut mundur.

Melihat mangsanya beringsut mundur, membuat lelaki itu semakin tertantang. "Mau tau nggak caranya gimana?" tanyanya seraya ikut bergerak maju.

"A-apa?"

"Kamu hanya tinggal pegang 'punya' Om. Dijamin deh, kamu pasti langsung bisa," seringainya.

"Punya Om itu maksudnya apa?" tanya Nira sedikit mengernyit.

"Sini deh tangan kamu."

Nira bingung harus menuruti atau tidak ucapan om-nya. Tapi rautnya terlihat serius. Lagipula kalau ucapannya benar, berarti ia bakal bisa membantu ibunya lebih cepat untuk membuat ketupat.

Hari kelima belas puasa Ramadhan, di kampungnya biasa akan membuat ketupat dan leupeut -penganan dari campuran ketan, kelapa, dan kacang merah- jika lebaran tiba malah tidak akan ada ketupat. Makanya Nira begitu antusias untuk belajar.

Dengan tanpa menaruh curiga, Nira memberikan tangannya.

Adik ibunya itu tersenyum mencurigakan. Tangan mungil itu langsung dipegang, lalu dibawa menuju suatu tempat yang tidak Nira sangka.

"Kamu tinggal pegang ini. Kamu pasti akan langsung bisa bikin ketupat."

Saat Nira tersadar dengan apa yang akan dituju tangan yang diarahkan om-nya tersebut, dengan sekuat tenaga ia menghempaskan tangannya.

Beruntung adik lelaki ibunya itu matanya sedang terpejam, sehingga dengan mudah tangannya bisa terlepas.

Setelah berhasil melepaskan tangannya, Nira bangkit dari duduknya. Dengan sekuat tenaga ia segera mengambil langkah seribu menuju pintu keluar.

Setelah berhasil keluar rumah, Nira tetap berlari dan sesekali menengok ke belakang untuk memastikan bila adik ibunya itu tidak mengejar.

Dengan napas sedikit tersengal, Nira mencoba mencari ibunya. Ia heran kenapa ibunya bisa tiba-tiba tidak ada. Padahal tadi ada di rumah. Tapi kenapa malah adiknya yang resek itu malah yang hadir.

Beruntung ia bisa melepaskan diri. Sebelum tangannya memegang hal aneh.

Saat mendekati sumur, ia bernapas lega ketika melihat punggung ibunya. "Ibu kenapa nggak bilang kalau keluar rumah. Hosh hosh," ucap Nira sedikit kesal sekaligus lega karena sudah berjumpa dengan sang ibu.

"Loh, kamu kenapa? Kok ngos-ngosan kayak dikejar hantu." tanya ibunya terheran.

"Itu ... ada Om di rumah. Terus malah nyuruh Nira pegang yang buat pipis punya Om. Katanya biar cepet bisa bikin ketupat. Hhhh." jawab Nira dengan napas sedikit tersengal. Ia merasa beruntung Omnya itu tidak mengejar.

"Hahahaha. Kamu ada-ada aja. Masa iya gitu aja percaya. Boong itu Om kamu. Yaudah yuk kita pulang. Ibu udah beres nyuci berasnya. Gimana kamu udah bisa bikin?"

Nira paham. Sampai kapan pun tidak akan ada yang percaya dengan apa yang ia ucapkan. Sehingga dirinya lagi-lagi hanya bisa menelan kekecewaan itu seorang diri. "Be-belum," jawabnya lesu.

"Nanti belajar lagi. Gampang kok. Lihatin Ibu aja dengan benar. Pasti bisa. Yuk."

Dengan sigap Nur, Ibu Nira, membawa bakul yang berisi beras yang sudah di cuci tersebut. Wanita paruh baya itu rencana mau membuat ketupat tiga liter beras.

Anaknya begitu menyukai ketupat dan opor ayam buatannya. Kebetulan ayam peliharaannya sudah cukup besar untuk di sembelih. Pasti lezat. Anak dan suaminya pun pasti senang.

Dengan langkah gontai, Nira mengikuti ibunya dari belakang.

Entah sampai kapan, ucapannya akan dipercaya oleh seseorang.

"Hei, kenapa melamun saat saya tanya. Hemm."

Suara tersebut membuat Nira tersentak saat dirinya kembali ke masa kini. Tanpa sadar ternyata sedari tadi ia melamun. Mengingat masa lalu yang kelam.

Pertanyaan dari dosennya tersebut, malah mengantarkan dirinya ke masa lalu yang selalu ingin ia kubur dalam-dalam. Tak ingin mengingatnya kembali.

Netra Nira bertubrukan dengan sang dosen. Tapi tatapan itu terlihat kosong. Membuat sang dosen mafhum apa yang menimpa gadis dihadapannya.

"Teringat masa lalu yang ingin sekali kamu lupakankah?" tanyanya dengan hati-hati.

"Kenapa Pak dosen bisa tau sesuatu hal yang paling rahasia yang saya punya?" tanya Nira balik bertanya.

"Jadi benar tebakan saya? Apakah kamu mau bercerita tentang hal itu? Saya akan mencoba membantu kamu. Agar trauma yang kamu alami bisa hilang, sehingga kamu bisa tenang dan normal kembali. Tanpa rasa takut yang menyiksa," jawabnya menjelaskan.

"Ta-tapi ... apakah pak dosen akan percaya dengan apa yang akan saya utarakan? Karena orang tua saya saja tidak pernah percaya dengan apa yang saya ceritakan. Mereka menganggap saya bohong," ujar Nira tertunduk. Tangannya saling terkait.

Merasa sesak saat teringat bila orang yang paling terdekat malah tidak ada yang mempercayainya.

"Tentu saja. Itulah gunanya saya di sini. Kamu bisa ceritakan apapun yang ingin kamu ungkapkan. Setelah itu kita akan cari solusinya," ujarnya seraya tersenyum menenangkan.

Gadis itu, Nira, memberanikan diri menatap sang dosen lebih lama. Ingin melihat kesungguhan ucapan lelaki itu.

"Ta-tapi ... kenapa Bapak peduli?" tanya Nira penasaran.

Ditanya seperti itu, membuat sang dosen mengusap dagu. "Hemm ... Entahlah. Hanya ingin saja. Panggilan hati mungkin."

"Bukan karena hanya kepo kan?" selidik Nira dengan mata menyipit.

"Kepo itu bukan bagian dari motto saya. Lagipula banyak hal yang harus saya urus daripada kepoin hidup orang. Kalau kamu merasa keberatan ya sudah, nggak masalah."

Nira dalam kebimbangan. Sudah saatnyakah ia membuka rahasia yang selama ini mengganggu hidupnya. Sudah saatnyakah ia menerima uluran tangan orang lain untuk membantu traumanya.

"So?" Lelaki itu menautkan alis, seraya menatap gadis yang terlihat dalam kebingungan itu. "Waktu saya tak banyak. Saya harus segera pergi."

Menghela napas sejenak, akhirnya Nira berkata, "Baiklah. Saya bersedia, Pak. Semoga Bapak bisa membantu saya keluar dari rasa takut yang mengganggu ini. Walau pelakunya sudah meninggal, tapi bekasnya masih tersimpan dalam memori saya," ujarnya seraya menunduk.

"Oke. Saya akan membantu. Yang penting kamu mau terbuka. Mungkin besok bisa kita mulai."

"Hemm ... tapi ini bayar tidak Pak? Saya nggak ada uang lebih rasanya buat bayar Bapak," ujar Nira seraya menaut-nautkan kedua jarinya.

Dosennya ini kan orang sibuk. Masa mau mengurusi hal remeh seperti ini, yang bukan urusannya pula.

Lelaki itu hanya tersenyum kecil. Senyum yang jarang ia perlihatkan ke orang lain, selain tampang seriusnya. "Menurut kamu?"

***

Mumpung lancar tulis dulu aja yaa
Muehehe

Omku MesumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang