32. SEA

750 122 19
                                    

"Lo tau kenapa hubungan lo sama orangtua lo enggak bagus? Karena lo terlalu tertutup, Sen..."

Ucapan Jaemin barusan tak membuat gadis yang berada di sampingnya menatapnya. Sena duduk di samping Jaemin. Menekuk kedua lututnya dan meletakkan dagunya di atas lututnya. Menatap kosong lautan yang terus berdesir ke arah mereka.

Sekarang mereka berpindah tempat. Jaemin mengajaknya berkeliling. Jaemin bilang, mungkin dengan berkeliling di sepanjang pantai, suasana hatinya akan membaik.

Dan ucapan Jaemin sekali lagi benar. Hatinya terasa tenang setelah berjalan-jalan tanpa berbicara. Setelah sekitar tiga puluh menit berjalan dari ujung pantai, mereka memutuskan untuk duduk di tengah-tengah pantai dengan beralas sandal yang mereka pakai.

Saking tenangnya, gadis itu tidak mendengarkan ucapan Jaemin. Gadis itu hanya terfokus pada air laut yang terus merombak dan berdesir.

Sena, gadis itu entah kenapa menceritakan semua masalah yang ia punya. Terkecuali masa lalu nya saat di Sekolah Menengan Pertama. Ia menceritakan semua masalahnya dengan sang mama dan papa.

Jaemin yang mendengar itu bisa mengetahui penyebabnya. Ia mempunyai solusi atas permasalahan yang dialami Sena.

"Coba, besok atau kapan pun itu, lo cerita ke orangtua lo. Apapun itu. Entah tentang masalah lo. Lo bisa jujur ke mereka tentang apa yang lo alamin. Tentang apapun yang lo rasain, lo bisa cerita ke mereka sama kayak lo cerita ke gue—"

"Gue pernah ceritain tentang anak cowok itu kejadiannya. Gue udah bilang kalo bukan gue yang dorong dia—" Gadis itu menjeda ucapannya, tak kuasa untuk melanjutkan kalimatnya saking dalamnya penderitaan yang ia alami hanya karena masalah itu.

"Gue percaya. Gue percaya bukan lo yang dorong dia," ujar Jaemin lembut sembari mengelus hangat punggung gadis itu.

Elusan lembut Jaemin entah kenapa membuat hati dan bibirnya bergetar. Ia—merasakan hal lain yang belum pernah ia rasakan. Selama ini, hanya rasa amarah, rasa sedih, rasa sakit dan rasa kecewa yang menemaninya bertahun-tahun. Tapi sekarang, ada satu perasaan yang bisa ia rasakan, yaitu rasa haru dan rasa bahagia.

Ia terharu ada yang mempercayainya. Ia senang ada yang membuatnya merasakan perasaan ini.

"Tapi mereka enggak bakalan percaya. Karena Jeno enggak bakal pernah buka suara tentang kejadian itu—lo tau? Gue marah. Gue marah banget karena Jeno enggak mau ngakuin kesalahannya. Gue marah karena Jeno cuma diem pas ditanya sama mama papa. Dia cuma nangis. Dia nangis tiap kali ditanya kejadian itu. Dia terus diem walaupun mama papa mukulin gue waktu itu—"

Sena langsung menundukkan kepalanya. Menyembunyikan wajahnya yang kembali menangis.

Gadis itu langsung memukul kepalanya kuat-kuat ketika air matanya kembali lolos. "Bego! Bego! Ngapain lo yang nangis! Bego!"

"Sen, jangan pukul kepala lo. Lo bisa pukul gue sepuasnya." Jaemin mengambil alih tangan Sena, berusaha agar gadis itu tidak menyakiti dirinya sendiri lagi. Jaemin sangat mengkhawatirkan gadis itu.

"ARGHHH!" Sena berteriak histeris dan menghempas tangan Jaemin dari tangannya. "Gue gak bisa marah sama Jeno! Karena cuma Jeno yang gue punya. Cuma Jeno yang ngelindungin gue. Cuman Jeno yang ada di sisi gue apapun itu..."

Jaemin diam. Memandangi wajah Sena dari samping. Angin yang berhembus kencang sesekali menerbangkan anak rambut pendek gadis itu, membuatnya terlihat sangat cantik.

"Lo tau rasanya? Lo tau rasanya, tiap kali gue liat Jeno, gue pengen marah. Tiap kali gue liat Jeno dada gue sesak. Tiap kali Jeno natap gue, rasanya sakit, Jae..." Perasaannya yang tadinya sudah membaik kembali menjadi buruk karena kembali membicarakan masalahnya.

"Maaf..." Entah kenapa kata itu spontan keluar dari mulut Jaemin.

Sena sontak menatap Jaemin. Menghapus air matanya kasar dan tertawa pelan dengan air mata yang terus lolos tanpa izin otaknya.

"Kenapa lo minta maaf? Aneh lo." Sena menghapus air matanya. Menghirup udara dingin yang sangat sejuk masuk ke dalam paru-parunya, membuat sensasi menenangkan pada dadanya yang tenang.

Sena terus mengulang itu. Menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kencang. Mencoba membuat suasana hatinya membaik.

Sedangkan Jaemin, pemuda itu menatap Sena yang berusaha terlihat bahagia itu dengan tatapan tak terbaca.

"Tapi, gimana pun gue tetep salah. Karena kejadian itu, gue ngerusak nama Mama sama Papa. Gara-gara gue—Mama sama Papa dianggap orangtua yang gagal sama orang-orang, karena ngedidik anaknya jadi kayak gini. Pembunuh..." Sena tak menatap Jaemin. Gadis itu lebih memilih menatap lurus lautan yang membantunya menenangkan diri. "Harusnya gue enggak perlu nanya ke Mama kenapa dia benci banget sama gue—gue udah tau alasan Mama benci gue, yah karena itu..."

Sena kembali tertawa pelan dengan air mata yang terus lolos tanpa aba-aba. Jaemin tidak mengerti dengan Sena yang seperti ini. Gadis itu seperti tidak ingin terlihat lemah.

Tapi, di mata Jaemin, gadis itu seperti orang yang tidak bisa mengenali perasaannya sendiri.

Sena menoleh ke samping karena sedaritadi Jaemin tidak menjawabnya. Pemuda itu menatap Sena sendu, membuat gadis itu tersenyum dengan air mata yang lolos semakin deras.

Sena menghapus air matanya kasar. "Udah ah! Gak usah sedih-sedih mulu. Jangan liatin gue gitu, dong."

Sena tertawa sembari mengguncang pelan lengan Jaemin, berusaha agar pemuda itu tersadar dan mendengar ucapan Jaemin.

Mendengar cerita-cerita Sena, pemuda itu merasa bersalah. Karenanya—semua penderitaan yang Sena dapat karena ulah dirinya.

Setelah mengatakan itu, Sena kembali meluruskan kepalanya. Memandang laut malam yang terlihat indah dan menenangkan. Tubuhnya sedikit bergerak maju-mundur karena perasaannya mulai membaik.

"Yang tadi—anggap aja gue enggak pernah cerita ataupun nangis ke lo, ya?" kata Sena tanpa mengalihkan pandangannya dari lautan itu. "Gue pengen deh, tiap hari bisa duduk disini. Ngeliatin laut. Entah kenapa, ngeliat laut hati gue jadi tenang gini. Makasih ya, Jae."

Gadis itu tersenyum lebar dengan sorot mata bahagia. Jaemin tertegun. Pemuda itu menelan saliva-nya berat. Pertama kalinya ia melihat Sena tersenyum tulus seperti ini. Pertama kalinya ia melihat sorot lembut Sena.

Ini seperti bukan Sena yang biasa ia temui di sekolah. Ini—seperti orang yang berbeda.

Sena yang di sekolah dan saat ini sangat berbeda. Sena yang ia kenal adalah gadis pemberontak, angkuh, kasar, selalu berteriak tiap kali berbicara atau ketus, dan selalu melihat siapa pun dengan sorot mata tajam. Tapi, kali ini berbeda. Tidak ada satupun ciri-ciri di atas yang ia lihat pada Sena yang sekarang.

"Oh iya. Sampe lupa gue kenapa lo bisa ada di rumah gue. Kenapa lo ke rumah gue?" tanya Sena dengan wajah yang terlihat tenang namun masih ada senyuman tulus pada wajahnya.

"Tadi, gue cuman pengen jenguk lo. Kata Jisung lo sakit. Chenle sama Jisung pengen dateng jenguk lo, tapi katanya takut sama Jeno."

Mendengar itu, sorot mata gadis itu seketika kosong. Sena langsung membuang wajahnya, menatap ke sembarang arah. Sepertinya Jaemin tidak perlu bertanya, karena ia tau segalanya.

Hening. Sena tidak menjawab membuat keadaan hening. Keduanya akhirnya sibuk dengan dunia masing-masing. Keduanya asik memandangi laut yang sangat tenang itu.

"Liat laut, gue jadi pengen tinggal di laut," kekeh Sena di akhir dengan mata yang tidak ia lepas dari laut yang terlihat menakjubkan di matanya.

Jaemin yang mendengar itu ikut terkekeh pelan. "Bareng gue ya tapi?"

Sena seketika menoleh. Jaemin kira, gadis itu akan melemparkan tatapan mematikan. Namun, di luar ekspektasi-nya, gadis itu malah terkekeh pelan.

"Makasi ya, Jae. Udah buat gue bisa liat view yang indah kayak gini. Makasi—malam ini gue enggak jadi bunuh diri gara-gara lo..."





























jangan lupa untuk meninggalkan jejak🤗🥰

Brother Sissy | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang