15. CONFESS?

848 126 22
                                    

Dua orang remaja turun dari motor. Gadis dengan mata bulat yang tajam itu berjalan terlebih dahulu dengan langkah yang cepat. Berbading terbalik dengan Jeno, pemuda itu berjalan dengan tenang, mengikuti langkah kembarannya dari belakang.

"Jeno dapet seratus lagi, ya?"

Tiba-tiba suara seorang wanita dari arah dapur terdengar, membuat langkah dua kembar itu terhenti. Sosok Joy tersenyum dari dapur dengan baju rumah yang tetap terlihat anggun.

Sayangnya, senyuman itu hanya di arahkan kepada Jeno. Bukan Sena. Membuat gadis itu mendengus malas dan berniat melangkahkan kakinya untuk menuju kamar.

"Kenapa kamu enggak bisa dapat seratus juga, Sena? Paling enggak delapan puluh—"

Dengan perlahan, gadis itu membalikkan tubuhnya, menatap sang mama dengan tatapan tajam. Tak menjawab. Hanya melemparkan tatapan penuh ketidaknyamanan dan menyebalkan miliknya.

"Pak Jungkook kasi tau mama tadi. Nilai kamu yang paling jelek di kelas," kata sang mama lagi.

"Ya terus?" Sena melipat kedua tangannya di dada. Merasa tidak nyaman dengan ucapan sang mama.

Joy menghela napas. Melipat kedua tangannya, persis seperti gaya Sena seperti biasanya, menatap puteri-nya pasrah. "Sampe kapan kamu mau dapet nilai jelek terus, Sena? Anak cewek harus bisa lebih pinter daripada cowok! Udah berapa kali Mama bilang—"

Joy menghentikkan ucapannya ketika melihat mata Sena yang berkaca-kaca. Kedua tangan gadis itu mengepal kuat, menunduk ke bawah. Bukan lagi menatap ke arah lawan bicaranya alias sang mama. Menunduk adalah bahasa tubuh saat sedang tidak percaya diri.

"Whatever. Kamu memang anak bodoh, keras kepala, gak bisa dikasi tau—"

"Ma..." sela Jeno lembut dengan nada lirih. "Jangan bilangin Sena gitu terus—"

"Kenyataannya dia emang anak bodoh, Jen! Kembaran kamu itu bodoh! Gak guna! Jangan kamu bela lagi—"

BRAKK

Gertakan sang mama untuk Jeno terhenti ketika mendengar suara gebrakan pintu. Sena langsung berlari masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya, membuat Joy dan Jeno memejamkan mata dan menghela napas berat.

"Ma, orangtua harusnya dukung anaknya apapun itu. Omongan Mama bener-bener nyakitin Sena, Ma. Mama gak sadar?" Jeno menatap sendu sang mama. Merasa sakit juga mendengar kata-kata tak pantas yang dilontarkan oleh sang mama kepada Sena.

"Jangan berani kamu nasehatin orangtua—"

"See? Keras kepalanya Sena pun nurun dari Mama. Jadi siapa yang harus disalahin kalau kayak gini, Ma..."

Sedangkan di dalam kamar bernuansa pink-abu, Sena langsung membanting kuat pintu kamarnya. Berjalan cepat menuju kasurnya dan melempar asal tas merahnya. Gadis itu melepas dasinya kasar, melemparnya ke atas kasur juga. Melonggarkan kerahnya dengan cara membuka dua kancing atas seragamnya sebelum akhirnya duduk di meja belajarnya dengan mata yang menatap ponselnya penuh fokus.

Gadis itu dengan tangan yang cepat langsung menekan satu group berisi tiga orang. Menekan tombol telepon pada ponselnya. Tak butuh waktu lama, suara terdengar dari seberang sana.

"Aduh Sena, aku baru mau makan tau. Bentar aja mainnya."

"Gila lo. Baru aja gue sampe rumah! Nanti sore aja deh."

Mereka sudah tau dan hapal betul kebiasaan Sena. Jika gadis itu menelepon lewat group yang telah Sena buat, maka hanya ada satu alasan gadis itu menelepon, yaitu untuk mengajak mereka bermain.

Brother Sissy | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang