Ramein komennya ya👉🏻👈🏻
•••
"Baik, seperti biasa. Nilai ulangan tertinggi masih dipegang oleh Lee Jeno."
Terdengar suara tepuk tangan yang meriah. Sorakan-sorakan penuh kebanggaan terdengar di ruang kelas itu. Pagi yang begitu cerah sama seperti isi ruang kelas itu.
Jeno tersenyum, menatap kertas ulangannya yang sangat membanggakan. Di sudut kertas ulangannya, terdapat angka seratus yang begitu besar. Centangan-centangan tinta hitam pada jawabannya terlihat sangat indah. Semua jawabannya benar.
"Dan seperti biasa, tidak ada yang remidi," ucap sang guru penyelenggara ulangan sebelum akhirnya berjalan meninggalkan kelas, menimbulkan sorakan-sorakan bahagia yang lebih keras lagi.
Semuanya menatap kertas ulangan mereka penuh bangga. Rata-rata mendapat delapan puluh dan sembilan puluh.
Disaat semuanya bersorak bangga, ada satu orang yang hanya memandang kertas ulangannya datar. Lee Sena. Gadis itu tidak tampak senang dengan hasil ulangannya. Ia mendapat tujuh puluh delapan. Nilai standar untuk lulus pada mata pelajaran Fisika. Padahal Jeno sudah memberikan ia semua jawaban.
Tetap. Gadis itu selalu mendapat nilai tujuh walau Jeno sudah mengisi dan memberinya jawaban.
Jeno yang tengah tersenyum bangga atas hasil usahanya pun seketika memudarkan senyumannya ketika tak sengaja melirik kertas ulangan milik Sena. Senyumannya benar-benar pudar, digantikan raut wajah datar.
"Coba gue liat jawaban lo." Tanpa persetujuan, Jeno langsung menyambar kertas ulangan milik Sena.
Gadis itu berteriak dan memberontak, berusaha mengambil kertas ulangannya yang sudah berada di genggaman Jeno. Namun, mata Jeno memang terlalu jeli dan cepat. Pemuda itu sudah melihat seluruh jawaban gadis itu yang dipenuhi coretan.
"Lo nyalahin jawaban lo lagi!?" Jeno bertanya dengan nada mendelik. Tak percaya bahwa jawaban-jawaban yang Jeno isi di kertas ulangan milik Sena malah dicoret, diganti dengan jawaban yang salah.
Sena—selalu menyalahkan jawabannya. Selalu.
Sena merampas kertas ulangannya, menatap Jeno sinis. "Bukan urusan lo!"
Sena bangkit, berniat untuk pergi, namun dengan cepat Jeno menahan tangannya. Memaksanya dengan kuat untuk duduk. Saat Sena kembali duduk, dua kembar itu saling beradu tatap tajam.
"Kenapa, sih? Lo terus nyalahin ulangan lo, Sen? Jangan ngalah buat gue terus..." lirih Jeno di akhir. Tatapannya begitu dalam, mempunyai makna yang begitu dalam pada kembarannya.
Sena menepis kasar tangan Jeno. Masih menatap kembarannya yang sempurna di segala bidang itu sinis. "Bukan buat lo! Baik banget gue ngalah terus!"
"Kenyataannya lo emang selalu ngalah buat gue, Sen..." jawab Jeno lagi. Entah kenapa dadanya tiba-tiba terasa sesak. Ada sensasi terbakar pada dadanya saat mengucapkan kalimat itu. Sena memang selalu mengalah untuknya. Untuk seorang Lee Jeno.
Sena menghela napas kasar. "Gue bilang bukan buat lo! Bacot banget! Dibilang bukan ya bukan! Kepala batu banget!"
Jeno diam. Lebih memilih menatap manik mata Sena lamat-lamat. Pemuda itu menatap kembarannya, seperti mencoba masuk ke dalam pikiran kembarannya. Seperti sedang membaca pikiran Sena.
Ia berharap tidak ada kebohongan dalam pancaran mata Sena. Ia berharap Sena tidak berbohong dalam ucapannya tentang gadis itu tidak mengalah.
Benar. Gadis itu benar. Tidak ada kebohongan dari sorot matanya yang tajam. Hanya ada sorot mata sendu yang tertutupi oleh sorot matanya yang tajam. Sena tidak berbohong tentang ia tidak mengalah kali ini. Gadis itu tidak berbohong. Lantas, kenapa Sena selalu menyalahkan jawabannya?
"Mama bakalan nganggap lo bodoh lagi, Sen—"
"Gak peduli!" jawab Sena lantang.
"Sen. Please, jangan gini terus..."
Jeno bingung tentang kembarannya yang selalu menyalahkan jawaban atau mengganti jawabannya yang benar dengan yang salah. Ia bingung, apa alasan kembarannya terus menyalahkan jawaban saat ujian? Jeno tidak pernah tau.
"Gue emang bodoh. Gue bakalan selalu jadi orang bodoh di mata Mama!"
"Enggak! You are not stupid! Stop buktiin ke Mama kalo lo beneran bodoh, Sen!"
Sena tidak bodoh. Dia bukan orang yang bodoh. Tapi entah mengapa, gadis itu malah menunjukkan betapa bodohnya ia di hadapan sang mama.
Tiap kali ulangan, ia berusaha mati-matian belajar untuk mendapat nilai yang bagus, juga untuk membantu Sena mendapat nilai yang bagus pula. Jeno rela mengisi semua kertas ulangan milik Sena dengan otaknya. Ia rela menyalahkan beberapa jawabannya agar Sena mendapat nilai yang lebih tinggi darinya karena rasa bersalahnya. Tapi, gadis itu malah menyalahkan jawabannya tiap kali ulangan.
Walau terus menyalahkan jawabannya, gadis itu tetap mendapat nilai standar. Sudah pasti Sena menghitung jumlah soal dan perkiraan nilainya. Sudah pasti.
"Lo tuh pinter, Sena. Kenapa sekarang malah kayak gini. Gue tau, lo bahkan lebih pinter daripada gue. Dulu yang selalu ditunjuk ikut olimpiade itu selalu lo. Selalu lo yang pertama ditunjuk pas kita SMP. Selalu lo yang dapet nilai seratus. Selalu lo yang ranking satu. Apapun itu, selalu lo nomor satu, Sena. Please, kenapa sekarang lo malah gini..."
Benar. Sena lebih pintar daripada Jeno semasa duduk di bangku menengah pertama (SMP). Sena selalu mendapat peringkat satu dan Jeno terkadang peringkat dua atau tiga. Guru-guru selalu menunjuk Sena sebagai orang yang akan diikutsertakan dalam olimpiade apapun itu.
Tapi kenapa gadis itu malah begini?
"Gue gak suka dapet nilai tinggi." Tidak ada intonasi tinggi ataupun emosi dalam nadanya. Tidak seperti biasanya yang selalu meninggikan suaranya atau berteriak tiap kali ia berbicara.
Kali ini gadis itu berujar tenang. Kali ini sorot mata tajam itu hilang dari mata bulatnya. Kali ini hanya sorot mata sendu namun kosong dalam pandangan matanya. Ini seperti bukan seorang Lee Sena.
"Why?" tanya Jeno lirih. Suaranya bergetar.
"Just, don't like it—"
Mendadak pikiran Jeno blank. Pemuda itu terdiam sembari otaknya menggali sesuatu yang kelam. Otaknya mengembalikan memorinya ke masa lalu, membuat sebuah clue yang mungkin akan membantunya untuk mengetahui alasan Sena.
"I just, don't like it."
Jeno tersadar dari otaknya yang membawanya bernostalgia ke masa lalu. Seperti ada sebuah jawaban yang membantu otaknya menyambungkan kabel terputus.
Kali ini, Jeno menatap Sena lamat-lamat. Tatapan matanya begitu serius. "Ini gak ada hubungannya sama kehidupan kita yang dulu, kan?"
DEGG
Bagai sebuah angin kencang yang menerpa tubuhnya sampai seluruh tubuh Sena terasa dingin. Detak jantungnya mendadak berdegup begitu kencang sampai sesak rasanya untuk bernapas.
"Lo," Suara gadis itu bergetar. Bergetar begitu hebat. Telunjuknya menunjuk wajah Jeno, namun telunjuknya bergetar, membuat Jeno bisa merasakan ketakutan gadis itu. "Gue udah bilang jangan pernah ngungkit masa lalu—"
"Lo harus jujur, Sena. I'm your twin. Gimana caranya gue bisa mahamin lo kalo lo sendiri enggak pernah cerita—"
"I SAID DON'T YOU DARE!"
Jangan lupa buat vote & komen. Follow juga gapapa kok asksksk. Ini aku update walaupun bukan jadwalnya. Jujurly aku pengen liat komenan kalian💋💋💋🤸🏻♀️🤸🏻♀️🤸🏻♀️🤸🏻♀️
Dan aku mau nanya, komentar-komentar kalian boleh aku jadiin konten tiktok gak? Takutnya ada yang gak seneng🙏🏻
![](https://img.wattpad.com/cover/317507038-288-k854511.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Sissy | Lee Jeno
FanfictionLee Jeno yang biasanya penuh dengan cinta. Lee Jeno yang selalu menuruti segala kemauannya tiba-tiba berubah karena sosok perempuan yang merusak hubungannya dengan kembarannya. Ia membenci perempuan itu. Ia membenci perempuan yang menjadi kekasih da...