•••Jam dua belas malam tiba. Tepat dengan dentingan jam tua yang besar, sosok laki-laki dengan setelan jas yang begitu rapi baru saja menginjakkan kaki di rumahnya yang mewah.
Tangannya yang kekar dan menawan membawa satu tas hitam berbentuk kotak. Kakinya yang masih lengkap dengan sepatu hitam ia langkahkan masuk ke dalam kamarnya.
Gelap.
Saat ia menyalakan lampu kamarnya, dilihatnya sang istri, Joy, sedang tertidur pulas. Seluruh tubuhnya tertutupi selimut putih tebal, hanya memperlihatkan wajahnya yang cantik tertidur pulas.
Taeyong tersenyum melihat sang istri bisa tertidur pulas. Tanpa memudarkan senyuman, lelaki berumur lima puluh dua tahun itu meletakkan tas kerjanya, mematikan lampu kamarnya dan melangkah keluar dengan pelan agar tidak mengganggu ketenangan Joy.
Pria paruh baya dengan hati dermawan itu pun kembali melangkahkan kakinya setelah menutup pintu kamarnya tanpa suara. Ia melangkah menaiki anak tangga memasuki satu kamar. Kamar putra-nya.
Dengan pelan dan lembut, Taeyong membuka pintu kamar sang putera. Namun, lampu kamarnya menyala dan Jeno tidak ada di kamarnya. Kemana ia?
Mungkin Jeno belum pulang. Tidak masalah. Namanya juga anak laki-laki, pikir Taeyong.
Kemudian badannya yang tegap ia langkahkan ke kamar sang putri. Dibukanya secara pelan pintu berwarna cokelat itu, kemudian senyuman lega sekaligus terharu terbit di bibirnya.
Kedua anak kembarnya sedang tertidur pulas di kamar Sena.
Dengan langkah kaki tenang dan sangat pelan, Taeyong memasuki kamar putri-nya setelah berhasil menutup pintu tanpa suara. Hatinya berdebar, merasa terharu sekaligus senang namun tenang.
Kedua anaknya tidur saling memeluk satu sama lain, seakan-akan tidak ingin kehilangan salah satunya.
Tangannya yang kekar pun mulai menyisir rambut Jeno ke belakang. Menyisirnya beberapa kali dengan bibir yang mulai bergetar. Kemudian, tangannya beralih menyisir rambut cokelat Sena ke samping, memperlihatkan pipinya yang berisi dan putih.
Detik itu juga, sebulir cairan bening lolos. Bibirnya yang bergetar ia buka sedikit untuk menyalurkan perasaannya yang tak bisa diartikan.
"Anak Papa udah besar sekarang..."
Taeyong tersenyum getir, masih dengan tangan yang setia menyisir kedua rambut anaknya.
Sena tidur dalam dekapan Jeno. Membenamkan setengah kepalanya dalam dada bidang kembarannya, membuatnya bisa menghirup aroma manis tiap detiknya. Jeno tidur di bagian ujung kasur dengan satu tangan kekarnya sebagai bantal untuk sang kembaran. Satu tangannya lagi memeluk erat punggung Sena agar saudarinya bisa tidur dengan tenang dalam dekapannya yang hangat.
"Papa seneng, kalian tumbuh dengan saling sayang kayak gini..." lirih sang papa dengan suara yang sedikit bergetar. "Terus saling sayang gini ya, nak?"
Setelah mengatakan itu, Taeyong mengelap air matanya lembut dan menarik napas dalam-dalam. Entah kenapa, dadanya terasa sesak.
Senyuman haru terus terukir dalam wajahnya. Sangat senang bisa memandangi kedua wajah anak kembarnya dalam kedamaian.
Setelah puas memandangi wajah kedua anak kembarnya, Taeyong duduk di samping Jeno. Lelaki itu duduk tepat di pinggiran kasur. Melepas sepatu dan kaos kakinya, membuat kakinya bisa ia luruskan, selaras dengan kaki kedua anak kembarnya, kemudian berbaring, memeluk Sena dan Jeno dengan dada yang berdebar dan terasa sesak.
"Maafin papa ya, nak? Belum bisa buat Mama kamu jadi orangtua yang baik..." gumam Taeyong terus mengeluarkan bulir-bulir cairan bening yang menetes begitu deras.
Tangannya terus menyisir kedua rambut anak kembarnya penuh kasih-sayang. Matanya terus memandang sendu wajah Sena dan Jeno dan tiap detik itu pula, air matanya terus mengucur dari matanya yang indah.
"Putri kecil papa..." gumam Taeyong dengan mulut yang tak kuasa untuk menyalurkan rasa sesaknya. "Papa, Mama dan Jeno, selalu sayang sama Sena..."
Setelah menyelesaikan kalimat itu, pria menawan itu mencium kening Sena yang tidur begitu nyenyak dalam dekapan Jeno. Menciumnya begitu lama dan menangis tanpa suara disana. Ia merasa bersalah. Pria itu kesakitan karena rasa bersalahnya selama ini.
"Sena, jangan coba bunuh diri lagi ya, nak? Jangan sakit juga. Jangan tinggalin Papa disini...."
Taeyong menatap wajah anak kembarnya begitu dalam. Seakan-akan tidak ingin melepaskan wajah damaian anak kembarnya sedikit pun. Senyuman yang begitu tulus terus terukir menatap haru dua anak kembarnya.
Keduanya tumbuh saling menyayangi. Itu cukup membuat rasa bersalah Taeyong sedikit berkurang. Ia merasa gagal menjadi orangtua. Ia merasa gagal telah membuat putri-nya hidup dengan senang di dunia ini. Ia gagal.
Putri-nya selalu ingin mengakhiri hidupnya. Sena selalu ingin pergi dari dunia ini meninggalkan mereka semua tanpa rasa bersalah. Itu sudah membuat Taeyong merasa gagal sebagai orangtua. Ia gagal.
Walau begitu, ia tidak pernah menyadari kesalahan terbesarnya selama ini kepada putrinya. Ia tidak pernah bertanya 'kenapa?'
Ia tidak pernah bertanya mengapa gadis itu sangat ingin mengakhiri hidupnya. Ia tidak pernah bertanya masalah apa yang gadis itu alami. Tidak pernah.
Taeyong memeluk keduanya begitu erat, membiarkan air matanya menetes ke tubuh anak kembarnya. Tiga puluh detik berlalu, Taeyong melepas pelukannya. Mengambil selimut putih milik Sena dan menutupi tubuh anak kembarnya yang saling berpelukan.
"Papa sayang kalian berdua..."
Setelah mengatakan itu, laki-laki paruh baya itu memperbaiki posisinya dan tidur di samping Jeno dengan tangan yang memeluk keduanya.
"Sena, Jeno. Papa sayang kalian..."
Ini daddy kalian yeorobun
Sampe gak sih feel nya?🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Sissy | Lee Jeno
FanfictionLee Jeno yang biasanya penuh dengan cinta. Lee Jeno yang selalu menuruti segala kemauannya tiba-tiba berubah karena sosok perempuan yang merusak hubungannya dengan kembarannya. Ia membenci perempuan itu. Ia membenci perempuan yang menjadi kekasih da...